Lihat ke Halaman Asli

krismanto atamou

Penulis Amatir

Obrolan di Alam Lain

Diperbarui: 10 Agustus 2019   04:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Martin belum selesai meminum segelas teh panasnya. Teh itu masih terasa hangat ketika tubuhnya mulai mendingin. Ia bangun dan mendapati orang-orang panik membopong tubuhnya ke rumah sakit. Sebelum itu, ia sempat mendapat pertolongan pertama. Ada nafas buatan, namun udara yang ditiup ke dalam mulutnya dibalas dengan hembusan udara keluar dari mulutnya lebih deras. Perutnya semakin membesar. Jari-jarinya yang ditusuk mengeluarkan darah kehitaman.

Ia dilarikan ke rumah sakit terdekat, sempat dipasangkan oksigen namun karena kondisi yang kritis, ia langsung dirujuk ke rumah sakit yang lebih memadai. Sesampainya di sana, ternyata pertolongan yang ia terima terlambat. Ia meninggal sebelum tiba di rumah sakit itu. Sang istri menemuinya dalam keadaan sudah tidak bernyawa.

Seperti biasa Martin setiap hari mengendarai sepeda motor di sekolah yang jaraknya 40 Km dari rumah. Pulang pergi maka jarak yang ditempuh adalah 80 KM setiap hari. Tangannya bergetar ketika sampai di rumah karena menahan setir sepeda motor yang bergetar sepanjang perjalanan. Jika sudah begitu maka ia meminta istrinya yang setia itu untuk memasak air panas yang akan dipakainya untuk mandi.

"Untuk menjaga kesehatan tubuh." Kata Martin ketika istrinya bertanya manfaat mandi air panas.

Akan tetapi, ritual mandi air panas itu sudah tidak ada manfaatnya lagi ketika ia terlambat diantar ke rumah sakit 15 menit saja. Bahkan sang pencabut nyawa telah tersenyum padanya saat mulai berangkat dari rumah. Senyuman itu perlahan membawanya ke alam lain dan ia bertemu Thomas, teman lamanya.

"Hi, Tom'! Kau juga sudah di sini ya?"

"Ia, Martin. Aku sudah lama di sini."

"Sejak kapan?"

"Sejak aku berusaha menyelesaikan misi-misi muliaku."

"Hm ... misi apa itu?"

"Aku merintis berdirinya sekolah baru di kampung-kampung yang belum memiliki sekolah. Aku ingin setiap generasi usia sekolah menikmati pendidikan di sekolah. Bahkan menjelang pensiun, sebagai kepala SD di kampungku, aku merintis pendirian SMP baru. Waktuku bersama keluarga nyaris tersita semua. Pagi, aku mengajar di SD, siang hingga sore mengajar di SMP. Sungguh sangat melelahkan. Aku berjuang hingga SMP itu diresmikan, berstatus negeri, memiliki lahan dan gedung permanen, serta memiliki kepala sekolah sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline