Sabtu, 12 Oktober 1968, Charlie Depthios mengikuti defile pembukaan Olimpiade Meksiko di Estadio Olimpico Universitario. Kala itu Charlie berusia 28 tahun dan sudah menjadi ayah bagi Ernest Depthios dan Erick Depthios. Juara angkat besi di berbagai arena itu hadir bersama lima atlet Indonesia.
"Papa sering cerita, bangga sekali bisa menjadi salah satu atlet yang terjun di olimpiade. Beliau tidak pernah memikirkan kontingen Indonesia hanya enam orang atlet. Papa hanya ingin berprestasi pada kesempatan pertama tampil di olimpiade,” ujar Erick.
Kala itu, Charlie menjadi andalan Indonesia pada cabang angkat besi kelas terbang ringan. Pria kelahiran Mamuju, 2 Februari 1940 itu langganan juara. Sejak 1960, ia terus menerus mencetak rekor nasional. “Setiap kali latihan, papa selalu bikin target pecahkan rekor. Latihan biasanya dimulai dengan beban mendekati atau setara dengan rekor terakhir,” ujar Erick.
Tak sulit bagi Charlie berlatih dengan beban setara rekor terakhir. Sebab, sebagian besar rekor itu dibuatnya sendiri. April 1962, ia memecahkan rekor nasional pada nomor Clean and Jerk kelas terbang ringan dari 108,5 kilogram menjadi 110 Kg. Rekor lama atas nama pria yang akhirnya punya tujuh anak tersebut dicatatkan pada Maret 1962. Sebelum itu, ia juga mencatatkan rekor dengan angkatan 108 Kg.
Dalam tahun-tahun selanjutnya, Charlie tetap langganan juara di berbagai pertandingan angkat besi nasional maupun internasional. Lebih istimewa lagi, semua dicapai tanpa bimbingan pelatih tetap. Rekor-rekor itu antara lain tercatat di Kompas edisi 03 September 1966 dan 14 September 1967. “Papa buat program latihan sendiri. Pagi, sore, malam beliau latihan sendiri di Senayan. Kalau ada orang latihan, papa ikut juga,” tutur Enosh Depthios, putra ke tiga Charlie.
Meski tanpa pelatih, bukan berarti Charlie tidak tahu teknik. Setiap kali keluar negeri, ia selalu menyempatkan diri menimba ilmu dari pelatih di negara tuan rumah. “Papa sering kerja sampingan di luar jadwal tanding di luar negeri. Hasilnya antara lain untuk membayar biaya konsultasi dengan pelatih luar negeri,” ujar Enosh.
Dengan bekal pengetahuan itu, Charlie menyusun program latihan sendiri. Hasilnya antara lain dua kali rekor dunia angkat besi nomor clean and jerk pada kelas terbang ringan. Rekor pertama dicetak di Surabaya, 28 September 1969 dengan angkatan 127,5 Kg. Tidak ada yang menduga rekor itu dicetak Charlie yang 11 bulan sebelumnya gagal mencapai prestasi memuaskan di Olimpiade. Bahkan, Gubernur Jakarta Ali Sadikin sampai salah menyalami lifter lain. Ali tidak menyangka rekor itu dicetak lifter dengan tinggi badan 154 sentimeter (Kompas, 19 Mei 1972)
Rekor kedua dicetak dalam Olimpiade Muenchen, Jerman pada 27 Agustus 1972 dengan angkatan 132,5 Kg (Kompas, 28 Agustus 1972). Sebagian orang menyebut rekor itu bertahan hingga 27 September 1991. Alasannya, pada tanggal itu baru ada lifter dengan berat maksimun 52 Kg mengangkat beban 155,5 Kg. Rekor itu dicatatkan oleh Ivan Ivanov dari Bulgaria pada kejuaraan dunia di Jerman.
Motivasi Sendiri
Beruntung Charlie tidak perlu memikirkan sendiri cara bertanding ke luar negeri. Kepala Dinas Tata Kota Jakarta di dekade 1960-an, Rio Tambunan menjadi orang yang bertanggung jawab soal pembiayaan itu. “Papa sering cerita, Pak Rio urus soal gizi dan tiket berangkat ke luar negeri,” ujarnya.
Tak hanya soal kebutuhan latihan, Rio mengontrakkan rumah bagi Charlie di kawasan Patal Senayan. Rumah itu ditempati Charlie selama tidak mengikuti pemusatan latihan menjelang pertandingan-pertandingan internasional. Selain di rumah itu, Charlie pernah pula tinggal di Wisma Krida, mess atlet kala itu.