[caption id="attachment_320172" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption]
Kesehatan adalah hak asasi dan unsur kesejahteraan yang perlu diwujudkan agar setiap warga negara dapat hidup sehat dan produktif, melalui pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa. Sistem Kesehatan Nasional yang menjadi pedoman dan acuan pengelolaan kesehatan disusun dengan memperhatikan pendekatan revitalisasi pelayanan kesehatan primer.[1]
… primary care provides a place to which people can bring a wide range of health problems … primary care is a hub from which patients are guided through the health system … primary care facilitates ongoing relationships between patients and clinicians, within which patients participate in decision-making about their health and health care … primary care requires adequate resources and investment, and can then provide much better value for money than its alternatives … (The World Health Report 2008. Primary Health Care - Now More Than Ever)
Kenyataan banyak pihak cenderung terfokus pada pelayanan spesialis, subspesialis, dan tersentralisasi di rumah sakit. Fenomena hospital-centrism, fragmentasi dan komersialisasi pelayanan kesehatan telah menimbulkan penyimpangan profesionalisme medis. Terjadi pemberian pelayanan yang berlebihan atau yang tidak dibutuhkan termasuk meresepkan obat tidak rasional, menciptakan pemborosan selain dapat mencederai penderita.
Tahun 2011, biaya kesehatan nasional mencapai Rp201,95 triliun (jumlah penduduk 242.326.000 orang, per kapita US$95.02, nilai tukar US$ sebesar Rp8.770). Proporsi pengeluaran pribadi mencapai 65,38% atau Rp132,03 triliun, dengan proporsi out-of pocket sebesar 76,27% atau setara Rp 100.71 triliun.[2] Berapa nilai pemborosan yang mungkin telah terjadi?
Dalam diskusi “Strategi untuk mencegah Fraud dan Korupsi di Jaminan Kesehatan Nasional” yang diselenggarakan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM, 6 November 2013 di Gedung Granadi, Rasuna Said, Jakarta, diungkapkan bahwa model pembayaran Indonesian Case Base Groups (INA-CBGs) dianggap rawan untuk terjadi fraud, bentuk korupsi yang perlu dicegah oleh semua pemangku kepentingan.[3]
Tarif kapitasi pelayanan rawat jalan primer di Puskesmas sebesar Rp3.000 – Rp6.000, sedangkan di klinik pratama (primer) swasta sebesar Rp8.000 – Rp10.000.[4] Mereka-reka berapa pendapatan dokter primer dan berapa alokasi anggaran untuk pasien dapat diperoleh dari simulasi dengan variasi asumsi, walau tidak selalu sesuai realita. Pembayaran kapitasi oleh BPJS kepada klinik berbeda dari pembayaran kapitasi oleh klinik kepada dokter primer, tetapi perlu diketahui juga masih dijumpai dokter primer yang dibayar sekitar Rp1.000 – Rp5.000 per kunjungan, selain menerima “uang duduk.” (lihat Appendix: Tabel 1)
Sistem pembayaran kapitasi seyogyanya mempertimbangkan berbagai faktor yang berpengaruh pada utilisasi dan biaya pelayanan kesehatan, seperti misalnya umur, jenis seks, pre-existing condition terutama penyakit kronik, dan sebagainya. Untuk itu perlu kajian dari pengalaman sebelumnya. Konotasi negatif terhadap kapitasi muncul karena implementasinya pada tahun 1990-an tidak disertai penyesuaian tersebut.
Sistem pembayaran yang tepat dapat memotivasi para praktisi medis memberikan pelayanan yang berkualitas. Cara pembayaran prospektif seperti kapitasi dan anggaran berbasis diagnosis diharapkan mencapai pelayanan yang efektif dan efisien. Namun skema yang tidak sesuai dan memadai dapat mendorong penyimpangan dan fraud. Sebenarnya bukan sistem pembayaran yang terutama, tetapi bagaimana memberikan pelayanan yang tepat untuk masyarakat.
Peran dokter primer dan pelayanan primer menghadapi situasi paradoks, di satu sisi tampak terabaikan dan kurang menarik, di sisi lain dituntut mampu berperan dalam koordinasi dan integrasi pelayanan kesehatan bagi pasien termasuk pelayanan rujukan ke dokter spesialis dan rawat inap. Kondisi ini pasti merupakan tantangan berat bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
BPJS Kesehatan tidak mungkin berjuang sendirian melakukan perubahan perbaikan pelayanan kesehatan primer. Dibutuhkan kontribusi semua pemangku kepentingan dan kepedulian masyarakat. Kepedulian 85.000 dokter primer saja tidak cukup untuk memenangkan perjuangan, tanpa dukungan dan peran serta masyarakat.
Jangan menutupi kekurangan dan kesalahan dengan menyatakan semuanya baik saja, melainkan melakukan analisis dan evaluasi terhadap kritik untuk rekomendasi solusi. Jangan berharap terjadi perubahan mendadak dan perbaikan sekaligus, melainkan melalui pembelajaran, uji coba dan pilotisasi.
Diperlukan gerakan advokasi mendorong perubahan perbaikan fundamental dalam pelayanan kesehatan primer, agar menjadi landasan yang kuat untuk Sistem Kesehatan Nasional. Reformasi Pelayanan Kesehatan Primer perlu perjuangan dan kerja keras, dan… kepemimpinan yang kuat, yang berpihak kepada rakyat.
Kris Kirana 3 Februari 2014
Appendix: Tabel 1 Contoh simulasi perbandingan jasa dokter dan alokasi biaya untuk pasien
[1] Peraturan Presiden RI No.72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional.
[2] WHO 2013. Global Health Expenditure Database. Indonesia. http://apps.who.int/nha/database/DataExplorerRegime.aspx | 2013.11.12
[3] Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM. Strategi untuk mencegah Fraud dan Korupsi di Jaminan Kesehatan Nasional : Apa dan bagaimana peran Pengawas Eksternal Independen dan Perguruan Tinggi? | 6 November 2013 http://kebijakankesehatanindonesia.net/component/content/article/2163.html | 2013.11.12
[4] PERMENKES No.69 Th.2013 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Lampiran I
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H