Lihat ke Halaman Asli

Eko Kristie

Payung itu melindungi diri. Payung itu norma, tradisi, agama, dan segala sesuatu yang menjadikan hidup semakin nyaman.

Mari, Berpuisi Saja!

Diperbarui: 25 April 2017   18:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Puisi tak pernah memberi solusi pada permasalahan. Itu tidak salah, kendati tidak sepenuhnya benar. Puisi mengungkapkan suatu ekspresi terhadap yang sukar terpahami. Entah akibat kebodohan, kemalasan, atau pun kekonyolan kita dalam memandang problema. Namun, puisi diungkap, kata-kata dipilih dan digurat – juga dikerat, telah berproses lama sebelum terwujud dalam larik, bait, dan rima.

Puisi itu suatu permainan kata yang serius. Bahkan, ada yang mengolah dalam sehari-semalam hanya menemukan satu kata saja. Permainan yang tidak sembarang orang mampu mengikutinya. Justru karena tanpa syarat atau ketentuan, apalagi tanpa juri, wasit, atau hakim yang terlibat di dalamnya. Maka puisi pun bermain dengan bebas, mengupas hingga topik yang jarang dibahas sampai tuntas.

Pada puisi ”Malam” (1957) Chairil Anwar mengingatkan bahwa puisi sangat bergantung pada upaya kita untuk terjaga: sebelum siang membentang/kami sudah tenggelam hilang

Namun, WS Rendra pada ”Pamlet Cinta” (1978) menunjukkan bahwa hari terang pun memberi kejelasan juga tentang puisi: Lalu muncullah kamu,/nongol dari perut matahari bunting,/jam duabelas seperempat siang./Aku terkesima.

Dengan cara yang berbeda, kendati tetap memantulkan bias yang sama, Sapardi Djoko Damono menggelitik kita untuk menggunakan cara sederhana, coba saja simak pada ”Tentang Matahari” yang sedikit berjenaka: Matahari itu? Ia memang di atas sana/supaya selamanya kau menghela/bayang-bayanganmu itu.

Namun, apabila kita mau berindah-indah dalam menyelami puisi, barangkali cara Goeonawan Mohamad lebih sesuai untuk para komtemplator, misalnya dalam ”Tigris” (1986) yang mengais sejarah keallahan: Sungai demam/Karang lekang/Pasir pecah/pelan-pelan/Gurun mengerang: Babilon!/Defile berjalan/Lalu Tuhan memberi mereka bumi/Tuhan memberi mereka nabi/Antara sejarah/dan sawah/hama/dan Hammurabi

Nah, kini jangan mempertanyakan lagi puisi, bahkan untuk bertanya-tanya pun tak usah diingini. Biarlah puisi terus tersembunyi, dengan begitu kita menjadi bebas untuk memaki atau merefleksi. Untuk mengumpat atau bermaslahat. Juga untuk sekadar berbuat tanpa harus berlagak sebagai nubuat. Selamat berpuisi!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline