Lihat ke Halaman Asli

Eko Kristie

Payung itu melindungi diri. Payung itu norma, tradisi, agama, dan segala sesuatu yang menjadikan hidup semakin nyaman.

Seraut Nan Utuh (10)

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

JEMBATAN

(Sejak bercinta dengan Lila, Tato makin terbuai rasa. Dia makin mesra dengan istrinya. Makin sayang dengan anak lelakinya. Tato menyadari sepenuhnya, itu hidup yang nyata. Tato tidak mengelak. Tato tidak mau membenamkan situasi hati. Tato akhirnya mengalir berbarengan waktu. Tato melihat pandang sayang di sorot mata Lila. Lila makin perhatian. Lila mengirim s-m-s berulang-ulang. Kirim gambar berkali-kali. Tato merasa sungkan, apa yang sudah diberikan kepada Lila? Hatinya, hanya itu miliknya. Tato punya kasih yang tulus, kadang memang rakus. Kasih yang berbuih tanpa merintih. Tato, mendengar kabar dari temannya bahwa Lila berangkat pagi dan pulang larut malam. Tato kadang merasa tidak rela. Tato hanya meyakini bahwa Lila menikmati hidupnya. Temannya meyakinkan dirinya bahwa Lila baik-baik saja. Temannya malah menambahkan bahwa wajahnya tetap ceria, tawanya tetap menyala. Pipinya makin segar dengan satu-dua jerawat tak kentara. Mendengar kabar itu Tato ingin segera menemuinya.  Rasanya ingin segera berbaring di sampingnya. Tato ingin mengelus tangannya. Kemudian mengecup pelupuknya dengan segala rasa.

Kata temannya pula, kini Lila tidak menyetir mobil sendiri. Tato hanya mau meyakinkan diri bahwa Lila dalam keadaan baik-baik saja. Suatu malam Tato tidak tahan, menulis surat panjang. Temannya melaporkan bahwa Lila menangis membacanya. Ada apa? Dirinya hanya mengungkapkan rasa yang ada dalam dirinya. Temannya malah menyalahkan dirinya.

”To, tidakkah kamu merasa hanya membebani hidupnya?”

Tato tidak menanggapinya. Dia ingin menyingkir dari kehidupan Lila. Dia ingin melihat Lila bahagia. Tato tidak tahu caranya.)

Namaku Wud. Teman Tato. Aku yang kadang menjadi jembatan bagi mereka. Lila dan Tato. Aku juga heran, apa istimewanya Tato? Aku tetap menganggapnya manusia yang layak diinjak-injak. Namun, aku heran. Aku tetap setia berteman. Aneh, juga masih terselip rasa kekagumanku terhadap dirinya. Sialan. Tato itu seorang lelaki yang tidak pernah melepaskan masa kanak-kanaknya. Selalu saja dia hidup di antara dua perempuan. Kalau disudutkan, dia akan menjawab dengan cerdik.

”Pilihlah satu perempuan untuk menjadi ibu anak-anakmu. Satu perempuan lagi untuk menjadi ibumu.”

Aku memandangnya sebagai jawaban licik. Tato cenderung berlicik-licik dengan konsep hidupnya. Aku sungguh senang saat Tato memutuskan nikah. Tato akan terpagar dengan mahligai. Dia hanya akan bergantung kepada satu perempuan saja. Dia telah berdamai dengan dirinya. Aku turut sibuk membantunya. Lelaki yang suka sayur oseng-oseng istriku ini, akhirnya berhenti dari kesendiriannya. Lelaki yang tidak berani memilih di antara perempuan-perempuan yang hadir dalam hidupnya. Lelaki yang tidak pernah jelas menghadapi perempuan. Lelaki yang cenderung tidak memberi harapan, sekaligus segan melepaskan. Lelaki yang menyenangkan dan menjengkelkan bagi perempuan. Lelaki yang menyuruhku untuk beranak banyak. Katanya Tuhan menyuruh manusia untuk berkembang biak, tapi tidak untuk menjadi tamak.

Aku menjadi terbelalak, Lila tiba-tiba muncul begitu saja. Ketika itu Tato sudah beranak satu. Lila seakan-akan terbit dan Tato menyambutnya dengan sengit. Di dalam hati aku yakin Tato sudah mengubur romantisme masa lalunya. Aku mangkel sekali. Lila, si gadis mungil, bersemangat kerja tinggi. Perempuan professional yang tidak meledak-ledak. Kepala bagian sebuah perusahaan investasi, mau-maunya dengan Tato yang dosen. Tato cuma tahu ilmu dan riset, apanya yang menarik?

Agaknya Tato mulai tercerabut kesadarannya. Hatinya menjadi terkoyak kembali. Ingatannya terbongkar dari kuburan masa lalu. Aku tahu mahasiswinya cantik-cantik, tapi dia bukan pengagum kecantikan. Tato bukan lelaki yang mudah tertarik kepada seorang perempuan, betapa pun moleknya. Aku tidak tahu harus menyalahkan siapa. Lila, perempuan yang pernah hidup pada masa lalunya. Lila yang sudah pindah ke Jakarta, kini muncul dengan pribadi lebih menawan. Dia ditugaskan perusahaan untuk menemui pengusaha-pengusaha lokal. Perusahaannya ingin mengukur peluang investasi di kota ini. Kota yang menjadi tempat tinggal kami, Jogjakarta. Lila dipercaya perusahaan mengikuti staf direksi untuk menyusun propektus berkaitan dengan pariwisata. Seandainya aku tahu sebelumnya, pasti aku akan mengingatkan Tato untuk menahan reaksinya. Mengapa Lila juga masih melajang? Aku masygul. Aku disurati Lila dengan mendadak. Inilah isi suratnya. Aku tetap menganggapnya sebagai pristiwa yang mengada-ada. Selesai membacanya, aku rasanya ingin menampar Tato sekuatnya.

Wud (boleh nggak pakai ”Mas”, bukan? Aku telah bercinta dengan Tato. Aku dilumatnya. Aku dicumbunya. Dia menjalar ke mana-mana. Tiada lekuk tubuhku yang belum diendusnya. Tiada kulit yang belum dirabanya. Aku menggerinjal dan melenguh dengan patuh. Tato ngamuk bagai kuda yang lepas kendali. Apalagi waktuku memang terbatas. Aku harus segera memberi presentasi kepada pengusaha lokal. Kami bergulat di suite-room. Ganas. Panas. Geraknya seperti magma yang meletup-letup. Hasratku yang lama terpendam akhirnya tersulut.

Ah,hp-ku bertuit-tuit. Aduh, aku sudah dinanti sejak 15 menit yang lalu. Aku jengkel. Aku tidak peduli dengan investasi. Go to hell, prospek! Aku lempar handphone ke tembok. Pyar! Ganti, handphone satunya berbunyi. Tanganku meraihnya, merentang, aku berniat pula melemparnya. Tato memegangku dengan mesra. Kami berpandangan. Matanya memancar kedamaian. Mengecupku, aku luruh. Telepon tak jadi kulempar. Kami berdekapan. Kemudian dia mengecup dahiku, mataku, dan tepi mulutku. Tato memunguti pakaianku, satu-satu. Wajahnya tulus, tidak kecewa.

Aku tahu dalam dirinya masih menggelora. Dia berhati binal, tapi bukan kuda. Dia memang liar, tapi tetap sabar. Tato menyentil-nyetil pipiku. Rasanya aku ingin mengumpati perusahaan. Meneriaki investasi. Cintaku telah dibasmi. Aku segera berbenah diri. Berdandan. Aku harus menuju ruang forum dengan anggun. Tato mengecup tengkukku sebelum menutup pintu. Dia membuka pintu lagi, aku pikir menggodaku. Tangannya melambai-lambaikan berkas investasi. Aku terpaksa kembali. ”Awas, kalau kamu pergi.”  Kataku, aku masih sempat menepuk dadanya dan segera pergi.

Wud, kamu jangan iri. Kami sudah telanjur bercinta. Kami tak mau menghentikannya. Aku minta restumu untuk berselingkuh dengannya. Please, Wud. Aku bukan malaikat yang bisa membawa cinta tanpa memiliki tubuhnya. Wud, kamu masih temanku, kan? Salam mesra buat istri dan anak-anakmu!)

”Wud, sudah baca suratku?”

Aku mengangguk enggan.

”Eh, Wud. Apa bedanya bikin cinta dan bikin anak?”

Aku bereaksi dengan ketus.

Lila malah tergelak, deretan giginya yang rapi berkilau.

”Wud, teman baikku. Bikin cinta itu rasanya dari ujung kepala sampai telapak kaki. Bikin anak itu mulai jantung merambat ke bagian pusar, terus ke sini! Seks itu indah, asal kita tidak serakah. Kaum lelaki yang kadang mencemarinya. Tato? Entahlah. Menurutku dia makin dewasa. Sabar. Ekspresinya memang makin tidak kentara.”

”Katamu binal.”

Akhirnya aku bersuara.

“Ya. Memang binal dalam bercinta. Dia memendam itu dalam tindakan nyata. Wud, saat kami bergumul, sempat-sempatnya ngomong bahwa Bagawad Gita itu bukan keraguan Arjuna dalam berperang. Menurutnya, dalam perang Baratayuda antara Pandawa dan Kurawa, hampir semua prajurit bertanya-tanya. Buat apa perang dengan saudara sendiri? Kedua pihak, Pandawa dan Kurawa berasal dari darah yang sama, darah Barata. Ngapain perang?” *)

”Perang itu, antara kamu dan Tato. Tato merasa jadi Arjuna? Bertanya tentang keberadaan dirinya. Perannya sebagai kepala keluarga. Dan kamu, Lila?”

”Ah, kamu jangan langsung begitu, dong. Keraguan Arjuna melawan saudara-saudaranya merupakan simbol keraguan kita terhadap cinta. Keraguan kita pada pengorbanan. Kesangsian kita pada kepasrahan.”

”Lila, kamu sudah dibiusnya.”

”Mungkin. Tapi Tato tidak membiusku dengan napsunya. Dia membiusku dengan kejujurannya. Dengan apa-adanya.”

”Itulah biusnya.”

”Wud, jangan sinis begitu. Apa salahnya bicara Bagawad Gita. Di dalamnya mengandung cinta. Nasihat Kresna kepada Arjuna tentang tugas dan bakti seorang satria. Itu memuncak pada membela kebenaran.”

”Kebenaran itu cinta.”

”Ya, betul. Kamu ternyata masih tangkas menyusun deduksi-induksi.”

Aku terkesima. Barangkali.

”Yah, tapi, rasanya percuma. Kalian membicarakan sambil telanjang.”

”Eh, kami tidak jadi bercinta. Cuma tidur-tiduran. Hati kami tetap menyala.”

Aku mengendurkan rasa jengkel.

”Sungguh?”

”Ya. Tato bilang Bagawad Gita terlalu mulia. Kita jangan melecehkannya. Tato mengaku ingin menjadi Kresna. Bijaksana. Tapi, katanya, dia telanjur memilih jadi Arjuna. Arjuna itu satria. Arjuna itu lebih nyata. Arjuna itu pecinta.”

”Kresna?”

”Prabu Kresna itu pertapa. Tato malah ngomong, Wud itu Kresna. Si bijak yang menjaga kita berdua. Wud itu jembatan kita. Bila dirinya tidak mau dilewati, celakalah kita. Begitu katanya. Wud pasti tidak menyetujui hubungan kita.”

Aku terdiam. Lama aku tidak bergeming. Aku mulai menerima mereka, meski tidak menyetujuinya. Itu bebanku. Entah sampai kapan aku mampu menjaganya. Semoga situasi tidak menjebakku untuk membuka rahasia. Aku khawatir akan berkhianat kepada mereka. Sudahlah, aku telah bahagia dengan istri beserta ketiga anakku. Aku tidak mau norak. Ya, selama mereka tulus dan lurus seperti Bagawad Gita. Konsekuen pada kenyataan. Bertanggung jawab pada perannya. Itu saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline