Lihat ke Halaman Asli

Eko Kristie

Payung itu melindungi diri. Payung itu norma, tradisi, agama, dan segala sesuatu yang menjadikan hidup semakin nyaman.

Seraut Nan Utuh (17) - Tamat

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

AIR PUN TERUS MENGALIR ….

Hidup itu dinamis. Mirip air yang kadang mengalir, kadang mengucur. Kadang pula mengalur atau memercik. Hidup itu amat indah jika kita tidak serakah. Hidup itu menjadi suatu lubang hitam, saat kita menginginkan sesuatu melebihi apa yang seharusnya kita perlukan. Aku ingat perkataan Mahatma Gandhi bahwa bumi ini menyediakan cukup bagi manusia, tapi tidak untuk keserakahan. Setiap orang telah memperoleh cinta yang cukup dan cuma-cuma. Namun, kita ingin menguasainya, lalu menancapkan patok-patok untuk menentukan batasnya. Seakan-akan cinta itu kapling perumahan, selain penghuni dilarang masuk kawasan.

Cinta tidak akan melarang, tidak pernah membatasi. Ki Pandaya berujar, seandainya setiap orang sungguh mengenal cinta, agama tidak dibutuhkan manusia. Kalau manusia mengenal cinta, dirinya pun telah mengenal Tuhan. Cinta itu wujud Tuhan yang bersemayam dalam hati insan. Kamu suka mengutip pernyataan tentang cinta. Aku mengutip ini buatmu. Mencintai orang berarti benar-benar berbahagia sekalipun tanpa orang yang kita cintai, tanpa takut disakiti, tanpa suatu maksud untuk menanam kesan, tanpa takut kalau-kalau mereka tidak lagi menyukai Anda atau bahkan meninggalkan Anda.

Muara dari segala aliran penciptaan adalah cinta. Badan Tuhan itu melingkupi alam semesta membentuk cinta. Manusia saja yang enggan melihatnya. Apabila manusia telah mengenal cinta dalam hidupnya, dirinya telah mengenal Tuhan. Aku bercinta denganmu dengan alasan itu. Alat kelamin itu wujud fisik cinta, tetapi cinta tidak mungkin diwujudkan secara fisik. Aku berharap kamu menikmati anggur cinta sesungguhnya. Aku telah menemukannya.

Wud mengenalku sebagai Lila. Sukma menyapaku sebagai Sinsin. Sukma, maafkan aku, mohonkan ampun kepada-Nya, sungguh. Tato memang suamimu. Aku telah mengaguminya sejak SMP. Dia dahulu suka bermain ping pong dengan ayahku. Di bawah pohon-pohon sawo di halaman rumah, aku sering menonton geraknya yang menawan. Tanpa disuruh ayah pun aku akan bikin minuman untuknya. Aku berkuliah untuk mengejarnya. Apa daya, dia justru menyuntingmu. Sukma, aku hancur. Hatiku berantakan. Cuma Tato yang sepenuhnya maklum bahwa Lila Sayekti Prabandari pada masa kecil dipanggil Sin. Kini aku tengah menimang-nimang anakku dalam terpaan sinar matahari pagi di tenggara padepokan. Sukma, akhirnya aku mengalami kerepotan seorang ibu. Anakku sangat rakus mengisap puting susu ibunya, ah, aku jadi ingat mulut ayahnya.

Tato, kabarnya kamu ingin pindah kerja?

Seorang teman masa kecil mengatakan bahwa menjadi petani itu ternyata menyenangkan. Dia punya usaha dalam bidang pembibitan. Saya menanggapinya dengan sedikit iri, sebab dia bisa bekerja dengan ritme yang diaturnya sendiri. Keirian ini muncul lantaran dia telah menemukan lingkungan pekerjaannya sebagai hidupnya! Barangkali kita akan mendengar hal senada dari teman yang bekerja di tempat lain tentang perasaan enjoy-nya dalam bekerja, dalam berkomunikasi. Di kantorku lebih enak, insentifnya menarik, karyawannya cool-cool, dandanannya ciamik-ciamik, boss-bossnya nge-friends, propektusnya luar biasa, dan seterusnya.

Tidak ada larangan untuk menjadi terkesima pada sesuatu yang muncul di hadapan kita. Tidak ada pula pembatasan untuk terpikat pada hal-hal yang hadir dalam hidup kita. Namun, sebelum kita telanjur pesimis, selayaknya kita bertanya pada diri: apakah aku sudah menghidupi lingkungan kerjaku? Ada ungkapan bahwa tetumbuhan di rumah tetangga itu lebih hijau dibandingkan tetanaman di halaman rumah kita. Kadang sesuatu hal yang menarik di tempat lain hanyalah peniruan dari rumah kita yang sedikit divariasikan secara berbeda. Artinya, ngapain kita tergoda kalau ternyata benih-benih talenta dan kebiasaan yang baik lebih bertebaran di lingkungan kita.

Benih-benih itu menunggu kita untuk menumbuhkannya. Kebiasaan-kebiasaan itu menanti kita mengemasnya secara kreatif. Barangkali kesemuanya itu dapat dibahasakan dengan satu kata: nilai. Nilai adalah sesuatu yang pantas dibela dan diperjuangkan. Sesuatu yang berharga dan demi nilai ini seseorang bersedia menderita, berkorban, mempertahankan, bahkan bersedia mati. Nilai memberikan arti dan tujuan kepada kehidupan ini. Nilai memberikan arah seperti rel yang menyebabkan kereta api tetap ada di jalurnya. *)

Tagore mengatakan bahwa kita semua memerlukan unta dalam hidup kita. Kuda memang bagus karena keindahan, kekuatan, kecepatan, dan rasanya kuda betul-betul bagus untuk dinikmati tunggangannya, untuk adu cepat dalam balapan, dan untuk memenangkan hadiah. Semua sungguh amat-amat bagus. Tetapi kemudian ada pula gurun di dalam hidup, dan di sana kuda yang paling bagus sekalipun tidak ada gunanya, kecepatannya tak memberikan manfaat. Di sana kuda akan tidak sabar, akan gelisah. Teracaknya akan tenggelam di pasir, napasnya akan terbakar panas teriknya gurun. Dan kuda akhirnya akan menjadi liar, rebah, dan mati di pasir yang tak kenal ampun. Kuda bukan untuk gurun. Sebaliknya, unta memang bernasib demikian. Unta akan terus saja melaju di jalannya dan akan terus, terus, dan terus berjalan begitu. Meskipun tanpa makanan, tanpa air, tanpa kendali, tanpa kompas, unta akan berjalan terus dengan langkah mantap, gigih, andal, dan akan tetap pada arahnya, mengarungi gurun, mencapai wadi, dan menyelamatkan dirinya sendiri beserta penunggangnya. Ketekunan yang membandel untuk tetap berpegang pada arahnya dalam situasi paling buruk merupakan modal berharga untuk kelestarian di dunia. Kita semua membutuhkan unta di kandang hati kita.

Ya, kandang hati kita adalah kasih. Kasih akan memudahkan segala kendala dan rasa terima kasih akan menjadi hiburan yang tiada tara. Marilah kita makin percaya bahwa kasih akan mengalahkan segalanya! Kasih akan selalu bersemi, di dalam diri, di dalam hati, di dalam seluruh relung kehidupan ini. Kasih itu berbakti seperti selarik kata-kata dalam puisi: kasih itu seperti kayu yang menyediakan diri bagi api….*)

Solo, Oktober 2014

Catatan:

Terutama pada bagian-bagian yang bertanda *) diolah dari sumber-sumber tertentu, misalnya buku, kitab suci, catatan harian, majalah, info dari internet, e-mail, bahkan juga dari percakapan. Pertanggungjawaban demikian memang tidak ilmiah, tetapi saya ingin jujur di dalam merangkai cerita ini. Seandainya maklumat ini disalahkan, saya siap menanggung segala akibat yang semestinya. Namun, saya berharap sumber-sumber yang saya imajinasikan kembali menjadi bukti bahwa kita tidak pernah lepas dari segala macam wacana yang ada dalam hidup sehari-hari.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline