Lihat ke Halaman Asli

Eko Kristie

Payung itu melindungi diri. Payung itu norma, tradisi, agama, dan segala sesuatu yang menjadikan hidup semakin nyaman.

Seraut Nan Utuh (15)

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

WUD BERBAGI

Aku sudah berterus terang kepada istri tentang semuanya. Hingga sekarang pun dia masih bertanya-tanya, mengapa Lila tidak menitipkan anaknya. Istriku sangat menikmati perannya sebagai ibu rumah tangga, seperti halnya istri Tato. Kesarjanaannya dipakai untuk mengelola rumah tangga, tanpa beban – tanpa merasa terpaksa.

”Aku memang tidak pernah berharap hanya menjadi ibu rumah tangga. Maksudku, selesai meraih gelar sarjana, lalu sekadar menjadi ibu rumah tangga. Kenyataannya, serampung kuliah aku menetapkan sikap berbeda. Terutama setelah bertemu kamu, Wud. Ini untuk lebih meyakinkanmu, Sayang. Aku telah lulus sarjana, memilih menjadi ibu rumah tangga, karena peran ini memang lebih berarti.”

Wud memandang ke bawah.

”Aku memang berulang-ulang menanyakan pilihan ini kepada diri sendiri. Menjadi ibu rumah tangga atau berkarir? Aku mau menunjukkan bahwa ibu rumah tangga, juga profesi, tidak sekadar peran berbakti kepada suami.”

Istriku menunjukkan keteguhannya.

”Bukan karena orang tuamu yang kaya?” godaku.

”Bukan, tapi karena ...” istriku memutus ucapannya.

”Karena apa?”

”Karena ... Calon suamiku miskin.”

Aku terpana. Istriku terdiam, tanpa senyum. Ada jeda. Lalu aku terkekeh. Istriku tidak sanggup menahan diri, tersenyum, lalu tawanya meledak. Anak-anak beriringan masuk ke ruangan. Ekspresi mereka merebak dengan tanda tanya. Kami berpandangan. Anak-anak memandangi kami berdua. Kami saling memeluk, kemudian menolah ke arah mereka. Anak-anak pun langsung menghambur ke arah kami.

”Pada akhirnya, aku memilih di rumah. Di dalam rumah selalu tersedia kasih. Mau lebih merasakan kasih?” tanyanya.

Aku terkesima. Tidak menjawabnya.

”Rangkullah anak-anak, lebih lama dari biasanya.”

Aku menurutinya.

”Seberapa besar kita mampu merasakan kasih itu?”

Istriku terus bertanya. Aku masih memeluk dan memangku anak-anak.

”Mas, kasih ada dalam diri anak-anak. Terasa atau tidak, itu bergantung pada seberapa lama kita menebar, merawat, dan memupuknya tanpa kenal lelah.”

Aku memeluk erat anak-anak.

”Kasih tidak punya batas waktu. Namun, manusialah yang bertugas untuk menjaganya. Agar api kasih terus berpijar. Pijar yang yang selalu membakar segala sikap dan perbuatan orang tuanya.”

Aku merebahkan keduanya di dada.

”Mas, aku punya sebuah cerita dari buku. Ada sepasang suami-istri mengunjungi sebuah panti asuhan. Mereka berencana menmgadopsi anak. Saat berbincang dengan seorang anak yang mereka inginkan. Suami-istri itu menawarkan berbagai benda-benda indah yang dapat mereka sediakan untuknya. Namun, suami-istri itu heran, anak itu justru berkata, ’Jika Bapak-ibu tidak punya hal lain selain rumah mewah, pakaian mahal, mainan, atau barang-barang berharga. Aku lebih baik tinggal di panti saja.’ Sang istri sangat terpana, ’Apa yang kau inginkan selain itu?’ Anak kecil itu menjawab lirih dan jelas, ’Aku menginginkan orang tua yang mengasihi diriku. Aku tidak minta selain itu.’ Kedua calon orang tua itu bertatapan.” *)

Istriku menyudahi ceritanya. Aku memejamklan mata.

”Sekarang, Papa merasakan apa?” istriku mengejar dengan tanya.

”Rumah adalah tempat paling indah.” jawabku.

Dia segera menghampiri kami. Dua anak kami yang lain memandang sambil berdiri. Keduanya diajak mamanya bergabung. Berlima kami berpelukan, menebar senyum. Melepas tawa. Keluarga menjadi tempat yang paling bernyala.

***

”Mam, aku sebenarnya ingin bisa menulis,” gumamku ringan.

”Kenapa tidak tanya Tato. Dia kan jagonya.”

”Tato terlalu sibuk dengan dunianya.”

”Mas, Arswendo Atmowiloto kayaknya pernah menulis buku Mengarang Itu Gampang. Sebuah judul yang sederhana, terlalu biasa, tidak memuat konsep berlebihan. Judul yang ringan, menggelitik, dan persuasif sekali. Seolah-olah siapa saja, kalau mau bisa menyusun karangan. Menulis itu hanya merangkai kata, enteng, kayak menjinjing tikus clurut yang mati di bawah meja. Atau seperti menyentil tombol start sepeda motor.”

”Mosok sepele itu?”

”Menurutku, menulis itu mempunyai prosentase 5-10 prosen bakat, 40 prosen kebiasaan, dan 50 prosen sisanya komitmen.”

”Ide-ide berseliweran, tapi nggak ada waktu.”

”Lho, Papa ini. Seakan-akan waktu 24 jam tidak cukup. Alasan Papa itu mirip dengan seseorang yang tidak bisa menulis karena tidak punya mesin ketik atau komputer.”

”Maksud, Mami?”

”Apa tidak bisa menulis dengan bolpoin?!”

”Oh, ya-ya.”

”Yaya, apa?”

”Memang, ada niat untuk menulis sesuatu, tapi diburu-buru pekerjaan.”

”Heh, apa cuma Papa yang bekerja giat. Banyak penulis berprofesi ganda, kan?”

”Aku tidak selalu punya imajinasi.”

”Mas, Mas, sejak kapan otak berhenti berkhayal?”

”Aku tidak punya tempat khusus untuk merenung.”

”Mas, kalau tidak salah, AA Navis, itu pengarang Robohnya Surau Kami, cukup merenung di dalam kakus saja!”

Aku seharusnya bersyukur tiap hari. Punya istri tidak pernah berhenti belajar. Kadang aku justru merasa terbatas dalam berwacana. Dirinya tidak pernah kehabisan kata-kata saat berdiskusi. Dialah yang mengenalkan kepada anak-anak bahwa salah satu tempat rekreasi yang nyaman yaitu toko buku.

”Mami memang benar. Mungkin masih banyak ungkapan lain yang lebih memilukan, ya?”

”Nah, makanya, jika cuma alasan tidak punya waktu, tidak punya kesempatan, bisa dideretkan lebih panjang lagi. Kebanyakan alasan seolah-olah logis. Sekarang tinggal bertanya kepada diri kita. Seberapa kebiasaan dan komitmen sungguh kita lakoni?”

”Kalau aku sungguh melakoni, kapan bercinta?”

”Heh, bawa saja laptopnya ke peraduan. Gitu aja, repot!”

”Ntar, tambah anak lagi?”

”Lho, katanya mau bikin kesebelasan. Jadi, nggak?”

Itulah istriku. Praktis pun tetap dikuasainya.

***

”Mam, mengapa Lila meninggalkan Tato?”

”Tanya saja Lila sendiri.”

”Ah, Mami ...”

”Yah, karena dia telah memilikinya.”

”Memiliki Tato?”

”Ya, Lila pergi karena sudah memilikinya.”

”Kenapa harus hamil, kalau hanya untuk meninggalkan yang dimilikinya?”

”Kenapa Mas bertanya-tanya melulu?”

”Mam, aku tidak lihai dengan misteri. Jangan terus mengolokku.”

”Baik, Sayang. Gitu saja ngambek, sih!”

Aku menghirup udara, lalu merebahkan kepala di pangkuannya. Istriku memilin-milin sebagian rambutku.

”Lila memang sengaja ingin hamil. Itulah cara memiliki kekasihnya secara penuh. Di mana pun dia kini berada, sosok yang dimilikinya akan terus bersamanya. Lila menjaga ketulusan cinta dengan anak yang dikandungnya.”

”Aku makin tidak mengerti.”

”Tidak perlu dimengerti. Papa bukan perempuan. Itu hak perempuan yang tidak selalu memuja lembaga perkawinan dalam hidupnya.”

”Maksudmu, perempuan tidak selalu ingin dinikahi?”

”Mas, saat jender diseminarkan di mana-mana, tetap saja ada orang yang bertanya-tanya. Mengapa perempuan ingin hidup melajang? Bagiku, Lila telah menjadi simbol perempuan zaman sekarang. Ada perbedaan sikap dalam memandang lembaga perkawinan antarzaman. Pandangan itu ditentukan oleh tata cara budaya yang melatarbelakanginya, bukan?”

”Kartini?”

”Kartini, salah satu perempuan yang menerima dan sekaligus menggugat pola dominasi kaum lelaki. Di dalam budaya patriarkal Kartini rela menjadi istri keempat Bupati Rembang – suatu peristiwa yang mengandaskan cita-citanya untuk belajar ke luar negeri – Kerelaan ini disadari Kartini. Dalam pemikirannya, hanya dengan jalan begitu budaya dominasi lelaki dilambatkan, di-rem, gerakannya memang kecil tapi terasa.” *)

”Sebagai istri keempat, Mami sebut sebagai pengggugat?”

”Coba pikir, dengan menerima lamaran, maka gugatan Kartini justru semakin kentara dan menyala. Sudut pandang begini masih jarang dijadikan pertimbangan dalam refleksi emansipasi. Apalagi dalam Kartini-an! Peranan Kartini sebagai istri muda sebenarnya melapangkan visi dan Kartini untuk mengoreksi atau memusnahkan kekuatan budaya dominasi. Ini kadang terlewat dalam pengkajian budaya perempuan.”

”Mami seharusnya yang menjadi kepala rumah tangga.”

”Apabila aku ingin jadi kepala rumah tangga, aku tidak usah menikah denganmu, Mas. Cinta bagi perempuan tidak untuk mengungguli lelaki. Tapi untuk mendampinginya.”

”Kenapa dulu memilihku?”

”Kenapa baru bertanya setelah anak kita hampir empat?”

”Dulu, belum sempat bertanya.”

”Baik. Sungguh ingin tahu?”

”Ya, dong.”

“Karena aku yakin, Papa akan menjadi ayah dan suami yang luar biasa. Jadi, berapa pun anak yang Papa minta, aku siap memenuhinya. Jangankan cuma kesebelasan, untuk menyusun pasukan pun perut ini selalu siap menyemaikan.”

Aku meraih tangannya, melekatkannya di pipiku dengan rasa lega.

”Mam, aku pernah beranggapan bahwa perjuangan Kartini itu tidak tuntas, tidak tegas, dan kurang menunjukkan keradikalan.”

”Begitulah kaum lelaki memandangnya. Banyak orang tidak mau tahu bahwa Kartini pun merasakan kebahagiaan menjadi istri keempat Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang. Pernikahannya menjadi awal perjuangan yang sesungguhnya, terutama dalam mempertanyakan filosofi lembaga perkawinan. Pernikahan itu menunjukkan keradikalan. Emansipasi perempuan berarti meningkatkan fungsi. Kartini tidak bermaksud mengungguli, apalag mengganti budaya lelaki.”

”Lho, bukankah Kartini cuma pasrah?”

”Pada mulanya Kartini memang pasrah. Itu sikap yang banyak dilakukan perempuan-perempuan Jawa. Kepasrahan yang total pada dirinya justru memicunya. Ada inspirasi untuk turut membuka katup-katup pengetahuan untuk tirai kekolotan yang menutup zamannya.”

”Maksudmu, pasrah dengan misi tertentu?”

”Barangkali begitu. Dalam kepasrahan, Kartini memahami makna perkawinan. Perempuan akan tampak lebih berperanan di dalam hidup rumah tangga. Dalam kerepotan rumah tangga Kartini menemukan makna yang agung. Kartini mendasari perilakunya dengan cinta. Kesadaran terhadap cinta inilah yang membulatkan hatinya untu bersedia dimadu. Suatu keadaan yang mula-mula menakutnya baginya.”

”Ketakutan?”

”Heh, Kartini adalah gadis yang takut setengah mati untuk memasuki rumah tangga. Gadis yang semula bermimpi tentang pendidikan tinggi. Ketakutan itu membawa pencerahan mengenai peran perempuan yang sesungguhnya. Pernikahan yang selama ini ingin dihindarinya. Kemudian diminatinya dengan kelegaan.”

”Maksudnya, dengan dimadu, perannya lebih berarti?”

”Kira-kira begitu, dirinya mampu mengungkap bahwa hubungan-hubungan sederhana dalam rumah tangga adalah kunci. Kunci yang menjadi akar untuk menopang mahligai. Apabila di dalam rumah tangga ada perasaan saling menghargai, mengagumi, maka dunia perkawinan menjadi rumpun yang membahagiakan.”

”Kartini juga menguatkan sikap Mami?”

”Ya. Seharusnya juga menjadi kekuatan semua ibu di dunia. Kekuatannya terletak pada kecintaan kepada anak-anak. Itu sebagai pertanda rasa cinta terhadap kehidupan masa depan.”

”Mami memang layak menjadi pembicara dalam seminar.”

”Perempuan atau rumah tangga tidak cukup diseminarkan, Sayang.”

”Kenapa enggan jadi pembicara?”

”Aku lebih senang punya anak ... yang banyak.”

Kuraih kepalanya, dia merunduk dengan rela.

”Ayo, bikin anak,” bisikku.

”Di ruang tamu ini?”

”Memang, Mami mau di sini?”

”Heh, aku belum gila!”

Aku tertawa. Berdiri, lalu menopang dirinya ke ruang bercinta. Dia sedikit meronta, lalu menjerit. Anak-anak pun keluar dari kamarnya. Kami berdua pun tertawa.

”Pa, ayo antar kursus balet!” anakku nomor dua mengingatkan.

”Ngantar anak itu orgasme yang lebih nyata,” bisik istriku menyentuh telinga.

Aku terhenyak.

”Sudah, sana. Ntar malam dua kali ....” bisiknya lagi.

”Papa ganti baju dulu ya,” akhirnya aku mengalah daripada makin tergoda.

Kini aku heran apabila ada suami tidak rindu pada rumahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline