AIR MATA AIR
Aku sudah lama mengenalmu, bahkan aku hafal ada berapa tahi lalat di punggung kirimu, bahkan pantatmu. Saban kuingatkan tentang hal itu, kau pasti tertawa renyah. Beranggapan bahwa itu sesuatu yang sepele, remeh, jadi bukan masalah.
”Dua puluh satu tahun,” aku menandaskan.
”Ya, ya. Buat apa ngitung waktu? Tidak akan menjadikan kita kembali muda. Orang-orang atau tetangga sudah mengenal kita.” Jawabmu ringan, terbuka, tapi tetap saja bikin aku merasa sia-sia.
”Kenapa kau tidak pernah menangis?”
”Boros.”
”Apa?”
”Boros.”
”Boros?! Maksudmu ….”
”Kita sudah terlalu banyak mengeluarkan air. Saat kencing. Ketika lari-lari. Juga sewaktu meludah sembarangan. Lebih-lebih ketika tubuh kita tergores dan luka.”
”Luka?”
”Darah juga cairan, kan? Berarti bahan dasarnya air juga.”
”Baik. Kau tak pernah kecewa atau sedih?”
”Kau harusnya lebih tahu, kita telah bersama berpuluh tahun.”
”Tapi, perempuan harus menangis.”
”Kau ingin melihatku menangis?”
Aku mengangguk, meskipun tidak sepenuhnya menginginkannya.
”Ok, ok. Aku akan menangis.”
Dia pun menangis. Air mata mula-mula menetes saja, bergulirringan, selanjutnya mengalir. Alirnya kian menderas. Aku tidak mampu membendungnya. Kedua celah di pelupuknya telah menjadi sumber air. Dari kedua celah pelupukku pun mulai ada zat yang mengalir.
Kami tidak tahu mau berbuat apa. Kami menikmatinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H