Tidak Tahan
(Suatu pengakuan barangkali bukan wujud dari kejujuran, tapi di dalamnya terkandung keterbukaan, juga ketulusan. Cinta itu selalu misterius. Letup-letup indah yang merayap dalam hidup, tersimpan selama berpuluh tahun lebih, mungkin akan terus tersimpan rapat-rapat. Namun, manakala tersingkap sisi yang gelap hidup pun menjadi merayap dan meratap...!)
”Aku tidak tahan lagi. Chris sudah tiga bulan tidak tidur di rumah. Pernah sesekali pulang, tapi larut malam. Pagi-pagi minta diantar ke suatu tempat. Anak-anak melek dia sudah lenyap. Aku tidak bisa menggantikan perannya. Sudah tahunan aku tidak bergantung kepadanya, aku tidak menuntut. Apalagi anak-anak harus berlanjut masa depannya. Beberapa proyek atau tender telah memberiku hidup layak. Adakalanya Chris malah minta uang sebelum pergi… yah, kuberi begitu saja.” Tutur Bince.
”Apa sih, yang merisaukan hatimu?”
”Aku ingin cerai.”
”Lalu?”
”Menurutmu?”.
”Lho?”
Rumah tangga itu ibarat mendayung perahu ke tengah danau yang luas. Pada awalnya entheng, menyenangkan, dengan gelak tawa meluap. Suasana indah akan menyusup ke selangkang atau ketiak penumpang, jika keduanya mau mendayung dengan gerak irama pasrah. Banyak pasangan tidak tahan pada terpaan angin. Goyah pada angin yang meluncur dengan deru. Atau hanyut tanpa kepastian arah mata angin. Menjadi bahagia bukan jaminan hidup berumah tangga. Bahagia masalah pilihan, tidak mampir dengan sendirinya, apalagi cuma-cuma. Tiap awak perahu perlu menentukan dengan pasti: bahagia – merana. Seandainya cinta telah mencelat dari geladak perahu, entah sengaja atau tidak. Sangat jelas, keduanya telah menyia-nyiakan dayung, energi, dan suasana. Apabila begitu, sesuatu yang tersisa, keadaan yang tertinggal untuk melanjutkan cuma malapetaka.
Aku termangu. Bince terus meracaukan kesangsian tentang lelakinya. Sosok ayah yang sebenarnya ditanyakan terus anak-anaknya.
Aku terpaku. Hati kelu. Malu. Aku tak mampu meredakan perahu yang bergoyang akibat angin ragu. Aku masih tergugu dengan perahu yang ditumpanginyaberdua yang sedang diamuk prahara kesangsian. Mereka adalah teman-teman masa cilik. Teman-teman yang memutuskan untuk meneruskan ke persekutuan yang lebih intim: mahligai rumah tangga.
”Konsekuensi ternyata tidak mudah.”
Satu baris ujar keluar dari mulutku. Bince memandangiku. Matanya menyorotkan cuwilan harap yang berlebihan. Aku terkesan dengan sinar harap itu.
”Bin, fokussaja masa depan anak-anak.”
Dari bibirku muncul selarik kata lagi. Aku pamit. Mata Bince belum lega. Aku lalu melajukan motor. Pulang dengan hati dan tangan hampa. Angin malam membelai wajahku yang mati rasa.
Aku rebah di peraduan. Mataku menembus langit-langit. Menerobos genting rumah. Melambung ke kekelaman langit malam. Melesat ke semesta raya.Hatiku hanyabisa turut meratap...!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H