"Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian"
(Pramoedya Ananta Toer)
Dunia saat ini tengah diliputi pandemi virus korona (Covid-19). Semua negara panik menghadapi virus jenis baru ini. Pemberitaan mengenai perkembangan kasus ini pun terus di-update dan didengungkan di mana-mana.
Sebagai salah satu pilar demokrasi, pers sejatinya menampilkan berita yang akurat, kredibel dan akuntabel. Dalam konteks pandemi saat ini, status questionis-nya adalah "Apa yang mesti diberitakan pers?" Penulis mencoba menguraikan butir pemikiran tentang pentingnya wajah ganda pers itu sendiri.
Wajah Ganda Pers
Insan media (Pers) sepatutnya berwajah ganda. Mengapa? Di satu sisi, pers mesti memberitakan kebenaran. Di tengah berkelindannya post-truth atau hoax, pers mesti memberitakan kebenaran. Insan media mesti memberitakan kebenaran apa adanya, tanpa embel-embel politik, ekonomi, dan lain sebagainya.
Dalam konteks Covid-19, pers sejatinya bergandeng tangan dengan pemerintah untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat mengapa mencuci tangan, memakai masker, menjauhi kerumunan (program 3M), dan mengapa program vaksinasi itu penting bagi masyarakat. Pers sejatinya membawa cahaya bagi masyarakat di tengah kemelut kekurangpahaman atas pentingnya kerja bersama demi memberantas virus baru ini.
Hal ini dikarenakan, kurangnya sosialisasi dari pemerintah kepada masyarakat yang terlalu idealis dan percaya bahwa Covid-19 adalah konspirasi global atau kepada khususnya mereka yang tinggal di daerah 3 T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Pers mesti berdiri sebagai pejuang yang memberitakan kebenaran berdasarkan data dan riset yang berkelanjutan.
Di sisi lain, pers mesti tetap menjaga marwah sebagai "nabi" yang tetap kritis dan selalu memberikan kritik dalam kerja-kerja kepemerintahan. Senada dengan ini, dalam rangka Hari Pers Nasional (9/2/21) dalam tayangan virtual di kanal Youtube Sekretariat Presiden, Pramono Anung (Sekretaris Kabinet) menegaskan: "Dan kami (pemerintah) membutuhkan kritik yang terbuka, kritik yang pedas, kritik yang keras (dari pers). Karena dengan kritik itulah, pemerintah akan membangun lebih terarah dan lebih benar".
Pers mesti memberikan kritik kepada pemerintah ketika program pemberantasan virus ini tidak sesuai dengan aturan yang berlaku secara internasional. Pers mesti menjadi the devils' advocate yang terus menerus mendesak pemerintah agar bekerja lebih ekstra menangani pandemi virus baru ini. Pers mesti memberikan kritik ketika di tengah kesengsaraan masyarakat akibat pandemi, pemerintah masih "berselingkuh" dengan kaum kapitalis dan borjuis dengan mengeluarkan Undang-Undang kontroversial di mana korbannya adalah peminggiran masyarakat adat dari tanahnya sendiri. Pers mesti terus menjaga api kekritisan ini agar tidak padam.
Inilah wajah ganda pers yang kita butuhkan hari-hari ini. Penegasan Pramoedya Ananta Toer di atas hendaknya menjadi alarm yang mengingatkan pers, "menulis untuk keabadian".