Dunia saat ini tengah menghadapi pandemi virus korona (covid-19). Sebuah virus baru yang berasal dari kota Wuhan, China, dan menggemparkan dunia beberapa bulan terakhir. Tak pelak, banyak korban berjatuhan. Entah sebagai ODP, PDP, positif covid-19 hingga meninggal karena virus ini.
Berita terakhir, Amerika Serikat menempati posisi pertama tingkat kematian tertinggi dengan jumlah berkisar antara 20.000-an orang, melewati negara Italia, Iran, dan China sendiri.Banyak negara pun panik. Jangan-jangan, setelah negara-negara tersebut, kini giliran negara kita. Maka, kebijakan diterapkan. Lockdown pun menjadi alternatif paling ampuh untuk menekan penyebaran virus mematikan ini dari satu negara ke negara yang lain.
Dengan perhitungan ekonomi yang cerdik a la Presiden Jokowi, Indonesia tidak memberlakukan lockdown, sebuah kebijakan pengisolasian dan ketertutupan diri dari negara lain, meskipun jumlah kasus positif covid-19 di Indonesia merupakan yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara, yang semula ditempati Filipina (detik.com, 17/4/20).
Sebagai seorang pengusaha, Jokowi dengan cermat mengkhawatirkan kondisi ekonomi bumi pertiwi ini selama dan pasca pandemi covid-19. Jika diberlakukan lockdown, sejarah krisis moneter tahun 1998 pasti akan terulang kembali.
Oleh karena itu, kebijakan yang diberlakukan Jokowi adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Meski istilah "pembatasan sosial" pernah dikritik oleh para ahli bahasa karena akan menimbulkan kesenjangan sosial, kebijakan ini toh sementara berjalan di Indonesia.
Aktualisasi Kebijakan di "Lapangan"
Di ibu kota negara, Jakarta, PSBB mulai diberlakukan pada Jumat 10 April 2020. Seperti dilansir dari detik.com bertanggal 17 April 2020, "Siapa saja yang melanggar kebijakan pemerintah selama status darurat bencana wabah Corona, akan berurusan dengan penegak hukum. Oleh sebab itu, masyarakat diminta untuk patuh dan disiplin." Daerah-daerah lain pun akan menyusul memberlakukan PSBB ini.
Meski demikian, jamak ditemui, masyarakat dengan keadaan ekonomi pas-pasan memilih untuk bersikap kritis dengan pandemi ini. Ada beberapa pendasaran.
Pertama, penyakit kelas menengah ke atas. Covid-19 adalah penyakit orang-orang yang masuk dalam kelompok kelas menengah ke atas. Pelaku yang paling kelihatan adalah mereka yang pulang dan pergi ke luar negeri. Dan ini hanya bisa dilakukan oleh kelompok kelas menengah ke atas.
Kedua, rasa kekurangpercayaan kepada pemerintah. Pemerintah selama ini belum menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, korupsi merajalela, infrastruktur di daerah-daerah terpencil sangat memprihatinkan, kasus hukum tumpul ke atas tajam ke bawah, dan masih banyak kasus serupa.
Konsekuensi logisnya, masyarakat tidak mau mematuhi protokol atau protap kesehatan atau pun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah karena selama ini hak-hak masyarakat belum dipenuhi.
Pemerintah, dalam hal ini eksekutif, legislatif, dan yudikatif, hanya memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri. Janji-janji yang diutarakan seorang kandidat selama masa kampanye hanya menjadi slogan busuk yang tidak bisa direalisasi karena ia lebih mementingkan kepentingannya sendiri dibanding kesejahteraan bersama (bonum commune). Sebagai imbasnya, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah masih dilawan oleh masyarakat.