Lihat ke Halaman Asli

Kris Ibu

Sementara bergulat

John Jonga, Nasionalis?

Diperbarui: 20 Oktober 2017   10:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: kompasiana.com

Dunia dewasa ini tidak bisa dilepaspisahkan dari berbagai problem yang dalam kondisi kritis akan menjadi sesuatu yng destruktif. Kondisi demikian pada akhirnya akan melahirkan pelbagai bentuk ketimpangan yang berujung pada hilangnya keseimbagan yang menopang berebagai fakor kehidupan. Bukan tidak mungkin, esensi kehidupan itu sendiri akan raib, apabila keadan ini dibiarkan begitu saja dan dipandang sebagai keabsahan dalam dunia modern (Nabal, BIAS, 2013).

Kadangkala, ada berbagai problem sulit yang bisa membuat banyak orang 'lari' daripadanya. Mengapa? Karena orang tidak sanggup mengolah dan mengatasinya. Ada orang yang mengalami degradasi ketahanan terhadap berbagai teror yang bisa berujung pada kematian.

 Meski demikian, tak dapat dimungkiri, tak sedikit orang pula yang teguh berdiri di tengah tantangan badai dan ancaman tersebut untuk tetap mempertahankan idealisme dan panggilan mereka. Salah satunya adalah Rm. Jhon Djonga.

Rm. Jhon Djonga adalah seorang Imam kelahiran Manggarai Timur. Ia dikenal sebagai seorang aktivis Papua yang sealu membela hak rakyat. Ia pernah menerima penghargaan HAM, Yap Thiam Hien Award pada tahun 2009. Ia juga telah mendirikan sebuah lembaga HAM Yayasan Teratai Hati Papua.

Pada tahun 2008 ketika ia gigih membeka umatnya di pedalaman Keerom, sebuah desa yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini, yang menjadi korban pencaplokan tanah dan hutan, ia justru dicari oleh Komandan Pasukan Khusus (Kopassus) dan diancam akan dikubur hidup-hidup (Flores Pos,8/3/16).

Pada tahun 2012, ketika menjadi Dekan di Arso-Kerom, ia kembali diincar oleh polisi, intel dan tentara karena dituduh bekerja sama dan mendukung gerakan Papua merdeka di hutan-hutan.

Beberapa waktu lalu, ia dipanggil dan diperiksa oleh polisi karena diduga terlibat kasus makar. Hal ini disebabkan karena ia menghadiri upacara pemberkatan Kantor Dewan Adat Papua di Wamenadan, peresmian Kantor United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau Gerakan Pembebasan Papua (sebuah organisasi pro kemerdekaan). Ia dituduh masuk dalam ranah politik praktis. Padahal, ia diundang sebagai Pastor untuk memimpin ibadat.

Meski Rm. Jhon dituduh makar, berbagai dukungan datang dari berbagai kalangan. Baik dari umat katolik, para aktivis katolik dan dari pihak Gereja sendiri yakni uskup Ladjar. "Sejauh ia berjuang demi hak-hak rakyat dan nilai-nilai kemanusiaan, itu juga merupakan perjuangan Gereja", tegas uskup Ladjar.

Satu hal urgen lainnya adalah Rm. Jhon sendiri tidak gentar ketika ia diperiksa polisi.

Rm. Jhon: Nasionalis?

 Rm. Jhon dengan segala perjuangannya yang teguh demi membela dan menyuarakan 'suara yang tak bersuara' dituduh makar. Dengan kata lain, Rm. Jhon dituduh sebagai pengkhianat negara. Namun, satu hal yang patut diingat adalah ia senantiasa masuk dalam realitas orang kecil dan terpinggirkan. Justru ia mengeritik negara, dalam hal ini pemerintah, yang tidak merealisasikan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat 1 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Rm. Jhon membangun optio fundamentalis untuk berpihak kepada orang miskin dan memperjuangkan nasib mereka. Orang miskin yang sering dirampas haknya oleh pemerintah inilah yang mau dibela oleh Rm. Jhon. Dengan demikian menjadi jelas bahwa Rm. Jhon adalah sosok nasionalis. Ia adalah sosok Gereja yang sangat mencintai negeri ini dengan mengambil tindakan berpihak kepada orang miskin. Dengan ini, apakah Rm. Jhon dikategorikan sebagai pengkhianat negara?***

(Foto diambil dari: Veronika Nainggolan).




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline