Earlier this day, I had a little chats with my childhood friend, he kinda just broke up with his---almost fiance---girlfriend. We had a talk about how she (my friend's ex) rushed thing. She was rushing him to marry her as soon as he graduated from college. But then my friend wasn't ready to start a marriage life and so he ended up their relationship. After they broke up, my friend jump his ass from one girl to another girl. As soon as my friend back in town, he went to some bar and get drunk with stranger girls. He told me that he intentionally get her drunk so that he can use her body as his object for some sexual intercourse. THIS. IS BEYOND. INSANE.
Ada dua hal yang sangat janggal dari cerita teman saya ini. Hal pertama adalah bagaimana seorang perempuan merengek untuk seorang laki-laki menikahinya dan yang kedua adalah bagaimana teman saya memandang perempuan hanya sebagai objek pemuas kebirahiannya semata apalagi dengan membuat perempuan tersebut mabuk terlebih dahulu.
Saya tidak mengerti apa poin dari seorang Ibu Kartini berjuang mati-matian menggebrak emansipasi demi wanita jika saat ini hal seperti ini masih kerap terjadi---bahkan di dalam inner-circle saya sendiri. Saya yakin jika Ibu Kartini melihat apa yang saya lihat dan mendengar apa yang saya dengar dengan mata kepala saya sendiri, beliau akan sangat murka dan sedih, mengingat bahwa perempuan sendiripun masih sangat bergantung dengan seorang laki-laki.
Di sela-sela pembicaraan saya dengan teman saya, ada seorang teman saya yang juga merupakan seorang laki-laki nyelutuk, "Kenapa sih perempuan itu sangat senang memburu-buru laki-laki untuk menikahinya?". Sedih betul saya mendengar celetukan teman saya.
Beberapa kalimat yang menjadi celetukan dari teman-teman saya dan kalimat yang dilontarkan melalui bibir perempuan sendiri terkadang masih menjadi gambaran gamblang bahwa perempuan masih menggantungkan hidupnya pada orang disekitarnya. Dengan menikah, ia merasa bahwa ia akan memiliki pengakuan sosial. Bahwa dengan menikah, genap sudah konstruk sosial yang secara implisit mengatakan bahwa perempuan harus mengabdikan hidupnya bagi seorang laki-laki. Konsep ini omong kosong. Saya sebagai perempuan merasa terhina dengan pernyataan tersebut.
Teruntuk perempuan di luar sana, kalian punya pilihan, dan saya harap bergantung dengan laki-laki bukan salah satu dari pilihan kalian. Dengan keras saya menyatakan bahwa saya---sebagai perempuan, tidak akan menggantungkan hidup saya kepada seorang laki-laki. Saya harap, semua perempuan di belahan dunia ini juga menyadari, bahwa mereka sekarang sudah memiliki hak yang sama dengan laki-laki yaitu untuk menuntut ilmu setinggi mungkin dan mendapatkan haknya secara utuh---apapun itu---tanpa harus mengharapkan hal tersebut datang dari orang lain.
Mulailah untuk menyayangi diri kalian sendiri, untuk memberikan yang terbaik bagi diri kalian sendiri. Berkaryalah sebesar mungkin. Langitmu bukan batasanmu---begitupun juga langitku. Tuntutlah ilmu setinggi mungkin. Belajarlah. Perkayalah dirimu dengan hal-hal baru. Buka portal nyamanmu---be the person you never thought you'd be---a much stronger and braver person.
If you want to settle down, congratulation! You've made your choice. One thing to remember, Ibu Kartini memiliki syarat untuk calon suaminya kala itu---seseorang yang dapat mendukung mimpi-mimpinya dan memberinya kebebasan untuk berkarya. Doa saya mulai dari hari ini dan seterusnya, semoga orang yang akan mendampingi kaum perempuan di belahan dunia ini adalah orang yang tidak hanya mau mendampingi melainkan mau didampingi.
Selamat berkarya, perempuan-perempuan hebat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H