Lihat ke Halaman Asli

Hasnun dan Potret Petani Kecil Nusantara

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usianya belum benar-benar renta. Tubuhnya masih tampak bugar. Tetapi kulit tubuhnya perlahan terkelupas. Jari-jarinya tak henti menggugat dengan garuk. mencabik-cabik kulit punggung, tangan dan kakinya "gatal sekali" katanya suatu ketika. "Kadang-kadang saya sesak napas kalau tidur malam" lanjutnya. "Saya tidak tau kenapa bisa begini, tapi biasanya kalau setelah pulang kebun, saya rasa seperti itu" tutupnya sambil sesekali menggaruk punggungnya.

***

Demikian sepenggal cerita yang hanya ditangkap sebentar dari Hasnun, seorang petani kelahiran Bima Nusa Tenggara Barat yang sudah sejak 1982 merantau dan akhirnya menetap di Merombok-Labuan Bajo Nusa Tenggara Timur.

Sudah sejak itu, hingga hari ini lelaki beranak empat itu bekerja sebagai petani sawah di ladang sewa pakai kepunyaan (pemilik tanah) orang lain. 'Sistem bagi hasil, tiga berbanding satu' katanya. "Tapi kadang saya rugi karena tidak semua hasil panen bagus" lanjutnya. Lantaran itu, untuk mengisi kekuarangan ongkos kerja dan pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga, Hasnun mengolah lahan sisa untuk beragam jenis sayur-sayuran.

"Namanya petani kecil, biaya kerja, biaya bibit, biaya pupuk dan pestisida terasa mahal sekali" Keluh Hasnun melanjutkan ceritanya tentang sistem pengolahan lahan. "Saya selalu menggunakan bibit dari toko dan pake pupuk-pupuk dari toko, karena tanah di sini cocok sekali untuk menanam bibit bibit unggulan itu dan biar lebih cepat pengolahannya"

***

Saya tersintak mendengar kisah Hasnun. Berkelebatlah dalam benak sederet tanya. Tidak hanya tentang keluhannya. Keluh kesah seorang petani kecil yang sudah sejak 1982 menjadi petani yang tidak beranjak gembira. Tetapi juga tentang  petani kecil di tengah kepungan pusaran sistem pertanian modern. Tentang petani kecil yang terjebak dalam kepungan 'toko' (dan koorporasinya) yang meng-ada-kan, menyalurkan dan menjual pupuk kimia, bibit pabrik yang kian mahal serta persaingan pasar yang selalu membuat petani kecil kalah dan berpasrah.

Pun berkelebat tanya tentang kulit tubuh Hasnun sendiri yang entah sadar atau tidak (mungkin) teradiasi/terkontaminasi zat-zat kimia. Tentang keluh sesak napasnya yang (mungkin) juga diserang zat-zat kimia hingga paru-paru pada rongga dadanya. Itu baru tubuh Hasnun, belum lagi jika digali tubuh tanah yang diolahnya, (rupa-rupanya) juga teradiasi zat-zat kimiawi sehingga cepat atau lambat akan tewas digerogoti 'gatal' dan 'sesak napas'.

Itu kisah Hasnun, seorang petani kecil yang jauh mengadu nasib di Nusa Tenggara Timur, sebuah propinsi kepulauan yang selalu mendapat label sebagai salah satu propinsi termiskin di Indonesia yang beriklim hutan hujan tropis yang kaya dan subur.

Pertanyaan lanjutan adalah apakah kisah yang dialami Hasnun adalah kisahnya sendiri atau jangan-jangan serupa itulah wajah petani kecil kita di tanah Nusantara ini. Wajah petani dan sistem pertanian yang secara perlahan-lahan meninggalkan sistem pertanian lokal, yang secara perlahan meninggalkan bibit-bibit lokal dan pupuk-pupuk alami (organik), kemudian beranjak secara instan lantas terjebak dalam kepungan sistem pertanian modern, yang tidak hanya membuat jutaan Hasnun di Nusantara mengeluh kalah didera persaingan pasar yang berlari kian cepat, tetapi juga terancam 'tewas' lantaran digerogoti radiasi zat-zat kimiawi yang mendera kulit hingga rongga dada mereka pada siang-siang dan malam-malam yang panjang.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline