Lihat ke Halaman Asli

Menyoal Identitas Masyarakat Flores di Tengah Gema Pariwisata Komodo

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Panitia New7Wonders of Nature akhirnya mengumumkan tujuh finalis yang mendapatkan dukungan suara terbanyak sebagai tujuh keajaiban dunia baru untuk kategori alam. Ketujuah keajaian alam tersebut adalah Taman Nasional Komodo, Amazon, Halong Bay, Iguazu Falls, Jeju Island, Puerto Princesa Underground River dan Table Mountain.

Taman Nasional Komodo yang meliputi Pulau Komodo, Rinca and Padar, ditambah pulau-pulau lain seluas 1.817 persegi adalah habitat asli komodo. Taman Nasional Komodo didirikan pada 1980 untuk melindungi kelestarian komodo. Tak hanya hewan langka tersebut, Taman Nasional Komodo juga untuk melindungi berbagai macam satwa, termasuk binatang-binatang laut.

Dengan terpilihnya Taman Nasional Komodo sebagai salah satu keajaiban alam dunia, sudah barang tentu tingkat popularitasnya akan dikenal kian luas. Dalam pada itu, bukan mustahil pula kunjungan wisatawan, termasuk di dalamnya para penanam modal (investor baik nasional maupun asing) akan melonjak drastis.

Secara ekonomi gejala tersebut di atas tentu akan menguntungkan masyarakat di ujung barat Pulau Flores Nusa Tenggara Timur itu. Namun, pada saat yang sama masyarakat Nusa Tenggara Timur dan secara khusus masyarakat Flores mesti awas bahwa identitas social-budaya-nya sudah sedang diuji.

Bahwa masyarakat Flores harus sanggup mendefinisikan dirinya, siapa sesungguhnya masyarakat Flores di tengah gema pariwisata yang tampaknya melulu ekonomis/pasar.

Sebab seperti diketahui bahwa pulau Flores terdiri atas beragam suku, beragam bahasa dan kebiasaan. Di Manggarai Barat, secara khusus di Labuan Bajo sendiri terdapat tiga suku besar yang dominan yakni Manggarai yang mayoritas Kristen-katolik, serta Bima-Bajo dan Bugis yang mayoritas muslim. Tiga suku ini mempunyai kebiasaannya sendiri-sendiri, bahasanya sendiri-sendiri dan tentu saja  memiliki karakter dan prinsipnya masing-masing.

Bukan tidak mungkin di tengah gema pariwisata yang melulu menyoal secara ekonomi/pasar, secara internal akan menimbulkan pergeseran dan konflik antar suku dan etnis serta agama. Apalagi jika secara ekonomi terdapat kesenjangan-kesenjangan, dimana para pendatang akhirnya menguasai lahan dan uang sementara kaum pribumi terpental ke luar gelanggang pasar pariwisata.

Belum lagi jika menyoal siapa sesungguhnya penduduk asli Labuan Bajo-Manggarai Barat. Pertanyaan itu tampaknya sedang dijawab sementara ini dalam pengungkapan dan pencarian identitas sebagai missal melalui mempersoalkan kembali kepemilikan lahan dan tanah.

Lantaran itu, dalam upaya untuk menegaskan siapa sesungguhnya masyarakat Flores, secara khusus masyarakat Manggarai Barat Flores dalam gema pariwisata yang adalah ‘lahan basah’ itu, rupa-rupanya setiap elemen penting masyarakat seperti pemerintah, gereja, para ulama dan pemangku adat mesti hati-hati menyikapi dan mendefinisikannya.  Dan untuk itu mesti harus didefinisikan secara bijak dan cermat agar tidak menimbulkan pertentangan dan konflik horizontal.

Demikianlah catatan kecil ini dibuat sebagai masukan untuk masyarakat Flores, agar di tengah euphoria terpilihnya Taman Nasional Komodo sebagai kejaiban alam dunia, secara internal kita mesti awas dan mengambil sikap reflektif. Siapa sesungguhnya masyarakat Flores, bagaimana masyarakat Flores bersikap dan menampilkan diri, menunjukkan identitasnya, sehingga dalam perjumpaan-perjumpaan dengan apa dan siapa pun tidak menimbulkan pergeseran dan konflik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline