Lihat ke Halaman Asli

Jurnalisme Warga Komunitas Pedesaan

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Pada masa konflik, semua orang tidak tahu kalau perempuan itu tidak memihak kepada siapa-siapa” Kisah Kak Cut, salah seorang perempuan korban konflik dari desa Glee Siblah, Woyla Aceh Barat, Nanggore Aceh Darusalllam. Ka Cut baru mengisahkan kembali setelah empat tahun penandatanganan MoU Helsinki. ”Kadang-kadang TNI datang ke rumah saya dan meminta makan, kadang-kadang juga anggota GAM datang ke rumah minta makan atau dibuatkan kopi” kisahnya lebih lanjut.

 

“Mau tidak kasih salah, saya kasihan lihat mereka. Mereka lapar. Mau kasih hanya satu pihak  juga salah karena semuanya membutuhkan makanan. Nanti dibilang saya tidak adil. Saya capek juga begitu terus, terus saya marah-marah mereka, kenapa kalian mau tembak-tembak kalau akhirnya kalian minta makan ke rumah saya?” pertanyaan itu membuat anggota GAM yang sering mampir ke rumahnya tersenyum, demikian juga dengan TNI yang datang silih berganti.

 

”Mereka menganggap lucu pertanyaan saya,  tapi saya kesal juga dengan mereka...saya bilang ke mereka, kalian bukan hanya bikin perempuan Aceh banyak jadi janda, tetapi juga kelapa-kelapa di kebun, hewan peliharaan kami banyak kehilangan pasangannya dan menjadi janda juga” ceplos Ka Cut di hadapan TNI atau anggota GAM kebetulan datang menyinggahi rumahnya.

 

Kisah Ka Cut di atas, masih hanya satu kisah yang sempat saya catat. Ada ribuan dan bahkan jutaan kisah lain yang menarik, menyentuh mata hati, menggugah khasanah berpikir dan membuat banyak tanya dalam ruang kepala saya akan potensi dan khasanah kearifan lokal berupa cerita penuh nilai, kisah-kisah bermakna dan tuturan bijaksana yang tersebar di komunitas pedesaan.

 

Sejarah tidak akan pernah berulang secara persis sama. Ka Cut dan ribuan perempuan Aceh yang mengalami konflik langsung belasan atau puluhan tahun lagi akan tiada. Mereka akan pergi bersama cerita dan kisah perjuangan mereka. Padahal jika mau mendengar dengan lebih setia, melihat dengan lebih dekat, dan belajar langsung dari komunitas pedesaan, sebenarnya perempuan Aceh di masa konflik adalah kaum pembawa damai, makhluk berbelas kasih.

 

Karena peran mereka yang dianggap tidak memihak, ketulusan mereka untuk memberi dan mengajarkan nilai-nilai, mereka pun menjadi korban, dan menjadi tempat pelampiasan geramnya perang yang memuncak. Sampai pada titik ini, air mata saya tumpah. Saya tidak dapat membayangkan mengapa perempuan Aceh harus tersingkir dari ruang publik pasa penandatangan MoU Helsinki. Mengapa mereka tidak mendapat peran signifikan dalam ruang publik.

 

Mengumpat dan memarahi, lantas mencari siapa atau apa kambing hitam yang menyebabkan perempuan Aceh tersingkir dari ruang publik, menurut hemat saya tidaklah terlalu tepat.  Justru sebaliknya melahirkan tanya yang selalu menyentak ruang kesadaran saya ”Melihat fakta, apa yang seharusnya engkau buat?”

 

Pemakluman inilah akhirnya menimbulkan kesadaran dalam diri saya untuk memulai sesuatu yang mungkin tidak berarti oleh kebanyakan orang. Pertama, saya meminta semua perempuan Aceh pedesaan yang saya jumpai untuk berkisah tentang pengelaman mereka semasa konflik. Saya bukan bermaksud untuk membuka luka bathin mereka, tetapi menganjurkan kepada mereka untuk mengatakan identitas mereka yang sesungguhnya bahwa mereka tidak pantas untuk untuk diabaikan di ruang publik.

 

Kedua, dalam keterbatasan waktu kerja yang padat, saya mencoba menulis kembali kisah-kisah itu, sambil sesekali pula mendampingi perempuan-perempuan Aceh, khususnya di desa dampingan di Bubon dan Woyla Aceh Barat untuk belajar membaca dan menulis. Membaca tentang bacaan apa saja, dan menulis tentang kisah apa saja, semau dan sekehendak mereka, semampu mereka. Saya menghendaki mereka menulis apa yang mereka kisahkan.

 

Berdasarkan catatan pengelaman saya tentang hal ini, proses untuk sampai membuat perempuan pedesaan menulis memang menemui banyak masalah. Selain karena mayoritas mereka tidak dapat membaca, juga karena menulis adalah sebuah pekerjaan yang bagi mereka sangatlah berat dan menyita energi. Tetapi itulah proses. Bagi saya, semuanya harus dimulai sejak hari ini, karena apa yang terjadi seperti hari ini tidak akan pernah kembali secara persis sama.

 

Ketiga, mengajarkan dan mendampingi anak-anak di pedesaan untuk memulai belajar membaca dan menulis. Membaca tentang apa saja, selanjutnya menulis tentang apa saja. Membaca fakta kehidupan, selanjutnya menuliskan tentang fakta itu. Mereka mengisahkan cerita kepada kawan dan sahabat mereka, tidak melulu secara lisan, tetapi juga dalam tulisan. Cerita lisan akan punah seiring perjalanan waktu dan sejarah, tetapi tulisan akan menjadi kisah yang selalu dibaca, walaupun apa yang mereka tulis mungkin biasa-biasa saja.

 

Tiga aktivitas di atas yang membuat saya terlibat dan banyak belajar dari komunitas pedesaan. Bagi saya inilah hakikat jurnalisme warga komunitas pedesaan. Mereka mengatakan tentang apa saja pengalaman mereka dalam tulisan, walau dalam selembar kertas kusam. Selanjutnya kisah dan cerita itu mereka baca untuk dicerna dan dimaknai untuk mereka sendiri dan untuk siapa pun. Bagi saya salah satu strategi mengembalikan peran perempuan Aceh dalam ruam publik dan mengatakan tentang idenstitas mereka yang sesungguhnya adalah melalui jurnalisme warga komunitas pedesaan.

 

Hanya dengan menulis tentang sesuatu, orang dapat membaca dan mengetahui tentang sesuatu, selanjutnya dengan mengetahui sesuatu orang dapat merubah tentang sesuatu. Dan semua kisah dan tulisan tentang sesuatu harus dimulai dari komunitas pedesaan, sebab di sanalah sejatinya para jurnalis itu berada. Biarkan mereka menulis apa yang mereka punyai, biarkan mereka mewartakan apa yang hendak mereka wartakan. Semoga sekiranya ’sabda’ mereka dapat mengubah dunia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline