Lihat ke Halaman Asli

Krisanti_Kazan

Learning facilitator in SMA Sugar Group

Ternyata, It's Not About The Money

Diperbarui: 26 Januari 2024   08:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Kring...kring...(suara telepon berdering)

Pak Harnowo: "Mbak, besok jadi ke Cibubur untuk interviu dengan Kepala Sekolah ya"

Saya: "Hmm..oke Pak" (nekat aja lah)

Tahun 2000 status saya masih mahasiswa tingkat akhir di salah satu universitas negeri di Bogor. Impian saya adalah bekerja di dunia bisnis dan berkutat dengan proyek lapangan. Tetapi saat itu takdir mempertemukan saya dengan Pak Harnowo di kereta api Gajayana dalam perjalanan berlibur ke rumah kakak di Malang. Singkat cerita, beliau menawarkan saya untuk mengajar di SMU Plus Muthahhari Jakarta sebagai guru honorer mata pelajaran Kimia dan Biologi. Tanpa pikir panjang, saya nekat menerima tawaran tersebut. Kok nekat? Iya, saya nekat karena belum punya pengalaman mengajar bimbel ataupun menjadi asisten dosen kala itu. Bahkan saya juga bukan mahasiswa jurusan kependidikan yang bisa menjadi modal mengajar. Tujuannya hanya satu yaitu UANG . Saya memiliki banyak keinginan yang belum terpenuhi. Saat itu uang saku dari orang tua hanya cukup untuk ongkos pulang-pergi ke lokasi penelitian skripsi di kawasan Cibinong dan pulang ke Depok. Beruntung saat itu saya masih mendapatkan beasiswa kampus sehingga kebutuhan membeli buku dan hiburan masih terpenuhi dan ditambah honor sebagai guru.

Sekitar tahun 2000 itu hidup saya berkutat dengan kegiatan kuliah di Bogor, mengajar di Cibubur, dan penelitian untuk skripsi di Cibinong. Pejuang angkot, KRL Jabodetabek, bus antar kota dan ojek. Seru dan banyak cerita menarik di masa-masa itu. Akhirnya modal nekat tadi membawa saya pada perjalanan hidup hingga saat ini. Menyesal? Tidak sama sekali.

Pengalaman pertama mengajar siswa kalangan atas tersebut mengajarkan saya cara menghadapi karakter unik siswa, orang tua, dan rekan sejawat. Kalau bisa digambarkan, siswa di sekolah tersebut memakai baju bebas, sebagian besar merupakan keturunan campuran dengan budaya yang berbeda. Saya ingat satu momen saat pertama kali masuk kelas dan sesi perkenalan, ada satu siswa laki-laki yang tiba-tiba dengan santainya sambil duduk di kursi tipe kuliah dan kaki disilangkan agak mengangkat di lutut dan wajah mendongak, tangan bersedekap (silakan dibayangkan ) nyeletuk, "Boleh dipanggil Mbak gak?". Sontak saya jawab dengan tegas, "Gak boleh. Panggil saya Bu". Tanpa diduga kelas langsung hening dan reaksi siswa tersebut sedikit kaget tidak menyangka saya akan menjawab seperti itu. Sepertinya mereka mencoba menguji nyali si guru baru yang terpaut usia sekitar 5 tahun dengan mereka, tapi tidak berhasil. Ternyata kesan pertama yang kita berikan kepada siswa akan menjadi momen yang memberikan dampak bagaimana siswa memperlakukan kita selanjutnya. Bisa berdampak disepelekan atau dihargai, dihormati bahkan diidolakan. Singkat cerita, setelah kejadian tersebut saya menjadi lebih percaya diri menghadapi segala rupa keunikan siswa saya. Saya lebih memposisikan diri saya sebagai teman belajar yang memfasilitasi kebutuhan belajar dan tempat mereka bercerita keluh kesah ala remaja tetapi dengan batasan wajar.

Perjalanan menjadi guru dari SMU Plus Muthahhari Jakarta, lanjut bergabung dengan SMA Lazuardi Depok dengan konsep sekolah inklusi dan semi boarding serta saat itu ada sistem subsidi silang yang menerima siswa tidak mampu juga. Selama 6 tahun mengajar di tempat ini menempa saya menjadi lebih memiliki pengalaman menghadapi beragam siswa dengan latar belakang ekonomi, budaya, dan keluarga yang berbeda. Hal yang paling berkesan adalah menghadapi problematika siswa berasrama yang hidup jauh dari orang tua dan beradaptasi dengan teman berbagai latar belakang budaya dan ekonomi. Tidak jarang saya pulang hingga larut malam selepas Isya untuk menemani mereka belajar dan menjadi teman bercerita serta membantu mencari solusi permasalahan yang mereka hadapi. Di tempat ini saya ditempa menjadi lebih peka terhadap masalah remaja dan tidak hanya fokus pada mengajar saja. Adanya siswa yang berkebutuhan khusus juga melatih saya untuk mengajar dan melayani dengan hati. Singkat cerita, muncul kejenuhan saat itu dan saya memutuskan mengejar impian saya sebelumnya.

Selepas dari Lazuardi, saya sempat memutuskan untuk rehat dari dunia pendidikan dan menerima tawaran ke Kalimantan dan Jakarta di dunia bisnis dan otomotif (sebagai project coordinator) yang saya kira merupakan bidang yang sangat saya impikan selama ini. Ternyata dunia ini cukup berat dengan berbagai intrik bisnis yang sangat tidak membuat nyaman di hati saya. Berbeda sekali dengan dunia pendidikan, banyak pergolakan batin yang tidak bisa saya ceritakan disini. Atas izin Allah, akhirnya pada tahun 2009 saya kembali ke dunia pendidikan dan mengajar di SMA Sugar Group-Lampung hingga saat ini. It's not about the money, setelah 23 tahun, akhirnya saya menyadari bahwa Allah sudah menyediakan yang terbaik bagi saya melalui jalanNya. Terima kasih Allah.

"Kerja Tuhan tidak boleh diramal. Nasib, usaha, dan takdir bagaikan tiga bukit biru samar-samar yang memeluk manusia dalam lena." - Andrea Hirata 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline