Lihat ke Halaman Asli

Lokakarya "Air Kita Masa Depan Kita" di UKSW, 9 Februari 2016

Diperbarui: 10 Februari 2016   11:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

UKSW Salatiga - Puluhan mahasiswa UKSW dan karang taruna Rowoboni, Banyubiru mengikuti lokakarya lingkungan hidup "Air Kita Masa Depan Kita" kemarin (Selasa, 09/02/2016).  Selain materi dari akademisi dan praktisi, lokakarya ini juga dimeriahkan oleh pelaku seni.

"Ketika ilmu akademisi dikolaborasikan dengan seni", itulah konsep yang digagas oleh TUK - Komunitas Tanam Untuk Kehidupan, sebuah komunitas lingkungan hidup yang secara rutin menyelenggarakan Festival Mata Air untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti penting mata air bagi kehidupan. Adapun lokakarya ini merupakan hasil kolaborasi TUK dengan Fakultas Biologi UKSW (FB UKSW) dalam rangkaian kegiatan Festival Mata Air tahun ini.

Napas seni sudah dapat dirasakan oleh peserta lokakarya sejak dimulainya acara. Buyung Mentari sukses mengguncang seisi ruangan dengan pembacaan puisinya yang berjudul "Mata air ada, kita juga ada, untuk saling menjaga". Acara kemudian dilanjutkan dengan pemberian sambutan dari TUK yang disampaikan oleh Dody Pratisto. Dody berharap lokakarya ini dapat membantu mengatasi permasalahan sampah di Muncul, Banyubiru melalui pengenalan konsep Bank Sampah. "Banyak sekali ditemukan sampah di sungai-sungai Muncul pada kegiatan bersih sungai 24 Januari lalu", sebut Dody. Selanjutnya, Sucahyo, selaku Kaprodi Biologi FB UKSW menyampaikan dalam sambutannya bahwa mahasiswa/i Biologi pun telah bergerak dan memang harus terlibat dalam kegiatan-kegiatan lingkungan hidup.

Usai sambutan, acara lokakarya ini dilanjutkan dengan pementasan teater gabungan Postma dari STIE AMA dan Getar  dari IAIN Salatiga. Cerita yang diusung oleh teater ini mengilustrasikan bagaimana manusia dengan mudahnya membuang sampah di sungai. Para penonton begitu terkesima melihat aksi si air dan si sampah yang diperankan langsung oleh para pemeran teater. Manusia memang seringkali khilaf, selalu menyalahkan sungai yang kotor dengan sampah tanpa menyadari bahwa ialah yang bertanggung jawab terhadap semuanya itu.

Materi lokakarya pertama yang disampaikan oleh Sucahyo mempertegas itu semua. "Sungai sebenarnya berfungsi untuk mencegah banjir, tetapi manusia seringkali beranggapan bahwa sungai yang meluaplah yang menyebabkan banjir", ujar Sucahyo. Sungai oleh masyarakat Indonesia memang masih dipandang sebagai salah  satu tempat yang "efektif" untuk pembuangan sampah. Beliau menuturkan hal ini terjadi karena masyarakat mempunyai paradigma bahwa sampah itu tidak bernilai dan harus cepat-cepat dibuang. "Sesudah dibuang di sungai, sampah akan dialirkan sampai jauh hingga tak terlihat lagi oleh mata pembuangnya, efektif  bukan?", kata Sucahyo menjelaskan.

Sesi tanya jawab pun berlangsung seru. Penanya dari berbagai latar belakang bertanya dalam kesempatan ini, ada Agus dari bagian DPU Kab. Semarang, Herman dari Fakultas Teologi UKSW, dan Lusi, dosen dari FB UKSW. Menjawab pertanyaan-pertanyaan, Sucahyo sekaligus mengakhiri sesi materi pertama ini dengan mengajak para peserta untuk mengubah paradigma lama tentang sampah dan sungai tadi sebagai solusi utama untuk menyelesaikan masalah sampah. "Sampah memberikan keuntungan (benefit), bukan biaya (cost), ini paradigma barunya".

Materi yang kedua disampaikan oleh Siti Alimah selaku direktur Bank Sampah Wares Tegalrejo, Salatiga. Para peserta dibuat penasaran dengan barang-barang kerajinan yang di-display di atas meja. "Kesemuanya ini terbuat dari sampah lho". Beliau kemudian memutar video tentang Bank Sampah Wares, memperkenalkan konsep Bank Sampah yang sudah berjalan di RT 03 RW 04 di Kel. Tegalrejo. Di dalam video ini, terlihat ibu-ibu yang menyetor sampah pada hari Jumat, kemudian pengelola menimbang dan mencatat setoran mereka untuk dimasukkan ke dalam buku tabungan sampah. Hari Sabtunya, pengelola akan memilah-milah sampah ini, menyortirnya, mencuci, kemudian meneruskannya  ke ibu-ibu bagian pembuat kerajinan. "Alhamdulilah, nasabah bank sampah ini bisa memperoleh SHU (Sisa Hasil Usaha) paling sedikit Rp 250.000,00 setiap tahunnya", kata beliau. "Sampah bisa jadi berkah kan?", tanya beliau yang menyampaikan materi bank sampah ini dengan interaktif.

Barang kerajinan yang sudah mampu dikerjakan oleh Bank Sampah Wares antara lain tas wanita, korden, piring, gelas, dan mainan anak-anak. Selanjutnya, Ibu Alimah dan ketiga rekannya memberikan pelatihan pembuatan barang-barang kerajinan ini kepada para peserta. Mereka terlihat begitu antusias mengikuti pelatihan ini. "Sampah yang digunakan benar-benar ada di sekitar kita. Bungkus kopi sachet, saya 'kan minum kopi tiap hari. Daripada dibuang gitu saja, mending saya kumpulin dibuat barang kerajinan seperti ini", tutur seorang peserta. Sayang, pelatihan tidak bisa dilanjutkan sampai selesai karena keterbatasan waktu. "Bagi yang tertarik, silakan nanti main ke Wares di Tegalrejo", ajak Siti Alimah.

Dengan berakhirnya pelatihan dari bank sampah ini, berakhir pulalah lokakarya "Air Kita Masa Depan Kita" ini. Menjadi sekedar ’hanya bicara’ ataupun akan membuahkan sebuah gerakan yang berguna bagi lingkungan, akan sangat bergantung pada seberapa ’mau dan mampu’ kita untuk mengambil bagian dalam berperan. Hal ini menjadi tanggung jawab kita bersama. Siap untuk memandang sampah sebagai berkah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline