David Allen Kolb yang lahir di Amerika pada tahun 1939 seorang teoretikus Pendidikan dan filsuf beraliran humanistik, yaitu aliran yang lebih menitikberatkan pada sisi perkembangan manusia. Kolb mengembangkan teorinya dengan menekankan ide-ide para filsuf, seperti John Dewey, Jean Piaget, dan Kurt Lewin. Pada awal tahun 1980-an, David berhasil mengembangkan Experiental Learning Theory (ELT) yang menekankan pada sebuah model pembelajaran yang holistik dalam proses belajar. Model experiential learning bertujuan untuk mengajak siswa memandang secara kritis terhadap kejadian yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari serta melakukan penelitian sederhana untuk mengetahui fakta, lalu menarik kesimpulan. Teori Experiential Learning Kolb (1984) menggambarkan sebuah siklus yang memuat empat elemen, yaitu concrete experience (emotions), reflective observation (watching), abstract conceptualization (thinking), dan active experimentation (doing). Lalu, apakah semua bidang studi bisa menerapkan teori ini, khususnya di pembelajaran masa pandemi serta apakah siklusnya harus berurutan?
Setiap bidang studi bisa menerapkan teori ini meskipun dengan kondisi yang terbatas, mengingat masih pembelajaran di masa pandemi, bahkan materi pelajarannya pun juga terbatas pilihannya karena tidak semua materi bisa menggunakan teori experiential learning dalam penyajiannya. Namun, refleksi kali ini, saya tidak membagikan pengalaman saya mengajar, tetapi pengalaman saya ketika melakukan observasi kepada teman yang mengajar Penjasorkes dengan materi kebugaran jasmani, yang salah satu hal yang perlu dilakukan siswa adalah mengukur denyut nadi sebelum beraktivitas dan setelah beraktivitas dengan gerakan. Kondisi saat itu, setengah siswa HBL dan setengah siswa PTM terbatas. Untuk itu, siswa yang HBL diminta untuk menyalakan kamera sepanjang pelajaran agar apa yang dipelajari benar-benar bisa dikontrol dan dipahami berdasarkan pengalaman siswa.
Langkah pertama yang dilakukan guru adalah memberikan konsep cara mengukur denyut nadi jantung, denyut nadi normal untuk anak remaja SMP, usia 10-18 tahun, yaitu 60 – 100 kali per menit, serta faktor-faktor yang memengaruhi ukuran denyut nadi, seperti sedang tak beraktivitas/istirahat. beraktivitas fisik, dan setelah olahraga, atau yang biasa terlatih olahraga/seorang atlet. Setelah mereka menguasai konsep, tahapan pertama dalam teori experiential learning, yaitu concrete experience dijalankan. Guru meminta siswa untuk mengukur denyut nadi ketika mereka sedang duduk dan setiap anak diminta untuk menuliskan denyut nadi mereka serta guru menanyakan secara acak kepada beberapa anak, baik yang di rumah maupun yang di sekolah. Pada tahapan reflective observation, siswa diminta untuk menyimpulkan bagaimana kondisi jantung mereka berdasarkan konsep yang sudah dipelajari. Guru mengulang kembali tahapan concrete experience, yaitu meminta siswa berdiri, baik yang di rumah maupun yang di sekolah untuk melakukan aktivitas fisik yaitu lari di tempat selama lima menit. Setelah itu, guru meminta siswa untuk mengukur denyut nadi setelah beraktivitas fisik serta menuliskannya. Pada tahapan reflective observation, siswa diminta untuk menyimpulkan bagaimana kondisi jantung mereka berdasarkan konsep yang sudah dipelajari.
Tahapan ketiga, yaitu tahapan abstract conceptualization, siswa diminta untuk membandingkan antara hasil denyut nadi saat duduk dan denyut nadi setelah beraktivitas fisik serta menyimpulkan kondisi jantung mereka berdasarkan konsep yang sudah dipelajari, yaitu ukuran denyut nadi beserta faktor-faktor yang memengaruhi. Selanjutnya untuk tahapan keempat, yaitu active experimentation, guru meminta siswa untuk program Latihan selama seminggu untuk mengukur denyut nadi, mulai dari bangun tidur, setelah makan, saat beraktivitas fisik, dan saat beristirahat selama seminggu. Program tersebut bertujuan agar siswa mampu membuktikan konsep yang dipelajari dengan pengalaman hidup keseharian.
Penerapan teori experiential learning ternyata masih bisa diterapkan dalam pembelajaran masa pandemi, khususnya Penjasorkes dan justru menghasilkan pembelajaran yang bermakna karena siswa bisa menghubungkan, bahkan membuktikan konsep yang dipelajari dengan pengalamannya secara langsung. Selain itu, siklus teori experiential learning tidak harus berurutan, bahkan setiap tahapan bisa diulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H