Tidak Ada Musuh Abadi, Hanya Kepentingan Abadi: Pergerakan Dinamis di Balik Politik Indonesia
Dalam dunia politik, kita sering mendengar istilah "tidak ada musuh abadi, hanya kepentingan abadi." Pepatah ini tampaknya menjadi pedoman tak tertulis yang diikuti oleh banyak politisi di Indonesia. Ketika kita melihat perjalanan politik beberapa tokoh yang dahulu keras menentang Prabowo Subianto, namun kini bergabung atau mendukungnya, kita mendapatkan gambaran jelas tentang bagaimana kepentingan mengalahkan segala bentuk prinsip dan idealisme.
Permainan Kepentingan yang Dinamis
Di kancah politik nasional, perubahan sikap para tokoh politik ini sering terjadi dengan cepat, memicu kebingungan dan bahkan frustrasi di kalangan publik. Anies Baswedan, misalnya, pernah menjadi pendukung Joko Widodo (Jokowi) pada Pemilu 2014 dan kerap mengkritik Prabowo. Salah satu pernyataannya pada masa itu:
"Kita butuh pemimpin yang membangun demokrasi, bukan yang merusak demokrasi dengan pendekatan kekuasaan."
Namun, seiring berjalannya waktu, Anies mendapat dukungan dari Prabowo dan partai Gerindra untuk memenangkan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Sikap Anies yang sebelumnya kritis terhadap Prabowo perlahan mengendur setelah ia menerima dukungan politik yang penting bagi kariernya.
Fenomena yang sama terjadi pada tokoh senior seperti Amien Rais, yang dulunya dikenal sebagai pengkritik keras Prabowo, terutama karena isu pelanggaran HAM yang menyeret namanya. Amien pernah menyatakan:
"Prabowo adalah bagian dari masa lalu yang tidak bisa kita lupakan, kita harus waspada terhadap kepemimpinannya."
Namun, setelah PAN (Partai Amanat Nasional) ikut serta dalam koalisi pendukung Prabowo pada Pemilu 2019, Amien Rais terlihat lebih kompromis dan bahkan lebih toleran terhadap Prabowo. Seakan-akan sikap keras yang pernah ia usung hanyalah bagian dari masa lalu yang bisa diubah sesuai kepentingan politik saat ini.
Perubahan Sikap yang Diwarnai Kepentingan