KABINET PRABOWO: EFEKTIVITAS ATAU PEMBOROSAN?
Prabowo Subianto, calon presiden yang diprediksi memimpin Indonesia dalam waktu dekat, dikabarkan akan membentuk kabinet dengan 47 menteri. Ini merupakan langkah signifikan mengingat Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini hanya memiliki 34 menteri dalam susunan kabinetnya.
Dengan perbedaan tersebut, muncul pertanyaan: Apakah kabinet yang lebih besar akan lebih efektif, atau malah membawa masalah baru dalam hal efisiensi dan penggunaan anggaran negara?
Sebagai perbandingan, negara-negara besar seperti Amerika Serikat, India, dan China---yang memiliki populasi hampir setara dengan Indonesia---justru dikelola dengan jumlah menteri yang lebih sedikit. Amerika Serikat, misalnya, hanya memiliki 15 departemen kabinet, sementara India, dengan jumlah penduduk lebih dari 1,4 miliar, hanya memiliki sekitar 25 menteri di level kabinet.
Bagaimana mungkin negara-negara besar ini dapat mengelola pemerintahan dengan lebih sedikit menteri, sedangkan Indonesia merasa perlu menambah jumlahnya?
Mari kita analisis lebih dalam mengenai manfaat dan risiko dari susunan kabinet besar, serta bagaimana ini berkaitan dengan efektivitas tata kelola pemerintahan dan pengeluaran negara.
PRO DAN KONTRA KABINET BESAR
Pro: Meningkatkan Spesialisasi dan Fokus
Argumen utama untuk mendukung kabinet yang lebih besar adalah kemampuan untuk memperluas spesialisasi. Dengan lebih banyak menteri, pemerintah dapat menunjuk individu-individu yang sangat ahli di bidang tertentu, seperti ekonomi digital, energi terbarukan, atau kesehatan masyarakat.
Dalam teori manajemen, konsep ini berhubungan dengan "division of labor", di mana pembagian pekerjaan yang lebih rinci dapat meningkatkan produktivitas. Dalam konteks kabinet, pembagian ini bisa berarti penanganan isu-isu spesifik dengan lebih mendalam.