Lihat ke Halaman Asli

Kris Hadiwiardjo

Penulis, Eks Penulis Artikel Bisnis, Ekonomi, Teknologi Harian Pelita

Trust

Diperbarui: 30 September 2024   11:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

T R U S T

Suatu hari saya beli telor di suatu kios. Harga satu kilo berapa? 27 ribu. Itu yang sudah dibungkus berapa beratnya? 1 kilo! Coba timbang dulu? Ternyata beratnya 0.95 kilo. Satu kilo kurang 5 gram. Saya beri 27 ribu. Dan dia biasa- biasa saja. Tidak menunjukkan emosi apa pun, atau minta maaf. Selisih 5 gram itu nilainya 135 perak. Super receh. Tidak bisa jadi apa-apa jaman sekarang. Tapi bukan disitu persoalannya. Ini soal rasa percaya yang tergores.

Saat lain saya beli ayam potong setengah kilo di pedagang kios pasar. Berapa setengah kilo? 28 ribu! Saya bayar 29 ribu, dengan satu lembar 20 ribu, satu lembar 5 ribu dan 2 lembar 2 ribu. Total 29 ribu. Di SD saya diajari bahwa 29 ribu kurang 28 ribu adalah seribu. Jadi matematika dasar. Saya akan terima kembalian seribu. Tapi alih-alih menerima kembalian, dia hanya mengangguk, memberi tanda transaksi selesai dan saya harus segera pergi karena antrian pembeli selanjutnya sudah menunggu.

Saya kena mental. Mempersoalkan kembalian seribu mungkin akan membangkitkan cibiran dan perdebatan panjang. Belum lagi sikap merendahkan si pedagang, kok seribu saja jadi masalah seperti orang miskin saja.

Dalam waktu beberapa detik itu saya harus ambil keputusan. Meninggalkan lokasi tanpa protes, pergi dengan damai tapi kesal, atau memuaskan nafsu saya untuk berdebat soal moral yang mungkin tak dia pahami, bertengkar atau ekskalasi yang lebih dahsyat lagi dengan pukul-pukulan yang bisa menghasilkan tontonan spektakuler meski tidak dapat academy award.

Saya memilih pergi. Ah seribu perak  EGP, emang gue pikirin.

Tapi persoalannya bukan uang seribu perak. Ini merupakan hal yang lebih besar lagi.

Saya juga pernah melihat penjual sate ayam yang saat  satenya jatuh di jalanan yang becek dan kotor, lalu dipungutnya dan kembali diletakkan dipanggangan dan dia kembali mengayunkan kipas bambunya seperti tak terjadi apa-apa. Jika yang pesan sate itu tahu, apakah akan menyantapnya?

Ada juga sebuah supermarket besar yang sekarang sudah bangkrut (mungkin akibat doa-doa dan sumpah serapah ribuan pembeli yang kesal)  jika tidak punya kembalian, kasir menukarnya dengan permen. Permen jadi alat transaksi. Suatu saat akumulasi permen-permen itu saya bawa ke supermarket tersebut, ingin saya gunakan untuk mrmbayar belanjaan saya. Ternyata ditolak oleh kasir. Enak sekali.

Adalagi penjual martabak yang sambil menggoreng martabaknya menggaruk-garuk belahan pantatnya dan menggunakan tangan yang sama tanpa sarung tangan plastik atau pelindung lainnya memegangi martabak yang selesai digoreng untuk dipotong-potong. Bagaimana perasaan pembelinya?

Pedagang gulali  di sekolah sekolah tahun tahun 70an sering membuat bentukan gulali berupa burung  Dan sebelum diserahkan kepada anak-anak sekolah yang memesanmya ditiup-tiupnya dahulu gulali tersebut untuk membuktikan bahwa gulali burung itu bisa berbunyi. Dan anak-anak dengan  polos serta riang gembira menerimanya dan meniup-niup gulali yang terpapar liur si pedagang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline