Lihat ke Halaman Asli

Perda KTR Hanya Pesanan Asing untuk Matikan Industri Kretek

Diperbarui: 28 Juli 2016   16:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) lainnya, Rancangan Perda KTR yang disusun DPRD Tangerang Selatan juga kebablasan. Bagaimana tidak, Raperda ini tak hanya mengatur kawasan tanpa rokok, namun juga melarang industri beriklan dan melarang toko swalayan berjualan rokok.

Anggota DPR, Firman Subagio, dan pengamat hukum Margarito Kamis pun mengkritik raperda ini.

Firman yang juga Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menegaskan, setiap peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan aturan lebih tinggi. Apalagi, rokok atau produk tembakau adalah produk legal.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, tidak ada kata larangan, namun berupa pembatasan. Karena itu, “Raperda yang mengatur larangan beriklan atau berjualan rokok, jelas bertentangan dengan aturan di atasnya,” ujarnya.

Menurut Firman, dalam setiap pengambilan keputusan terkait tembakau, harus ada pertimbangan rasional. Suka atau tidak, industri tembakau memberi kontribusi ekonomi besar mencapai Rp 157 triliun per tahun dari sisi cukai saja.

“Kalau itu dimatikan hanya karena desakan golongan anti tembakau jelas tidak fair. Tembakau bukan penyebab penyakit hingga menyebabkan kematian. Ingat, pabrik senjata juga menimbulkan kematian, kenapa tidak minta Amerika atau Rusiamenutup pabrik senjata mereka,” tegas FIrman.

Ia menilai, gencarnya regulasi yang memukul tembakau, semata karena kompetisi dagang di tingkat global. Ada kelompok bisnis tertentu yang ingin mematikan industri tembakau dalam negeri.

“Maka tembakau dimatikan dengan mendorong isu kematian akibat tembakau. Kalau tembakau dilarang jual, maka bagaimana dengan petani. Pemerintah daerah tidak bisa membuat regulasi yang diskriminatif, harus diatur bersama, petani tetap terlindungi,” tandasnya.

Ia mengingatkan, salah satu alasan penjajah datang karena tembakau lokal Indonesia yang kemudian dibawa ke Belanda untuk dijadikan bahan cerutu. Nah, seharusnya, tembakau sebagai karunia Tuhan di sektor pertanian dilindungi dan tidak bisa diabaikan begitu saja  di tengah perlambatan ekonomi dan defisit anggaran mencapai Rp 300 triliun.

“Jika tembakau diberangus mau diganti dengan apa. Jangan mengikuti dan mau ditunggangi oleh kampanye anti tembakau yang didanai kepentingan asing,” tandasnya.

Margarito sepakat dengan Firman. Raperda itu memang menabrak aturan di atasnya, yakni PP 109 Tahun 2012. “Aturan itu kebablasan. Perda tidak bisa mengatur apa yang tidak ada di undang-undang atau peraturan di atasnya. Urusan rokok ini kan tidak otomatis juga semata urusan kesehatan. Aturan seperti itu jelas memukul industri hingga petani,” kritik Margarito, Selasa (7/6).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline