Lihatlah, bisa jadi komoditas tembakau dengan industri hasil tembakaunya paling banyak dikepung aturan. Cukai hasil tembakau ditunggu, namun industri tembakau juga dibelenggu.
Setidaknya ada empat undang-undang yang mengatur industri hasil tembakau (IHT) (lihat tabel). Kalau dicermati lebih dalam, tak satupun undang-undang itu memberikan kelonggaran apalagi memberikan peluang bagi IHT untuk bertumbuh dan berkembang. Kesemua undang-undang itu adalah borgol agar IHT tingkah polah IHT sejalan dengan kepentingan internasional.
Ruang gerak bagi IHT yang tercermin dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan pun tak sepi dari kritik maupun kecaman. Padahal, seandainya RUU itu jadi undang-undang dan kemudian diundangkan, setidaknya ada ruang gerak yang memadai bagi petani tembakau kita.
Demikian juga dengan RUU Kebudayaan. Begitu muncul usulan, rokok kretek sebagai produk budaya, RUU inipun riuh rendah oleh kritik, terutama datang dari kaum antitembakau, yang belakangan ini begitu kritis terhadat IHT setelah Bill Gates, pendiri Microsoft dan orang paling tajir sejagad, menggelontorkan jutaan dollar untuk menyerang industri tembakau nasional.
Regulasi Pengatur Industri Hasil Tembakau
Sejatinya, operator terpenting dari gerakan antitembakau ini adalah Kementerian Kesehatan. Bahkan, kementerian ini tak segan beriklan di televisi tentang bahaya merokok. Iklan ini patut dicurigai sabagai titipan. Sebagai kementerian yang bertanggungjawab atas masalah kesehatan di Tanah Air, iklan larangan merokok bisa diterjemahkan bahwa kementerian ini hanya concern pada urusan merokok.
Padahal, masalah kesehatan sungguh bejibun. Mulai soal sanitasi, makanan berformalin, junkfood, minuman beralkohol, penyakit-penyakit tropis, bahkan masalah fasilitas kesehatan di daerah terpencil pun seolah-olah belum masuk dalam program yang penting.
UU Kesehatan
Publik mencatat, pasca diundangkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, secara beruntun, muncul aneka peraturan-peraturan turunan yang semakin merestriksi tembakau di Indonesia. Muara dari peraturan itu adalah pasal 113 sampai pasal 116 dan Pasal 199. Intisari dari ketiga pasal itu adalah produk tembakau merupakan zat adiktif, yakni zat yang membuat orang kecanduan.
Klausul adiktif itulah yang kemudian berbiak menjadi sejumlah kontroversi. Itu tampak, sejak diundangkan UU 36/2009 ini paling sering masuk peradilan pengujian undang-undang, Mahkamah Konstitusi. Sebagian besar pasal yang diuji itu lebih banyak terkait dengan soal tembakau atau lebih spesifik lagi soal rokok.
Beleid 36/2009 bak tsunami bagi IHT. Karena sejak penerapan pasal bahwa rokok merupakan zat adiktif, sejumlah gelombang peraturan pun muncul.
Dimulai dengan munculnya PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. PP yang berisi 65 pasal itu, memberikan definisi terkait bahaya zat adiktif yang terkandung dalam produk tembakau dan upaya pemerintah untuk melakukan pengaturan terhadapnya.