Lihat ke Halaman Asli

Drama Setnov Terus Berlanjut, Menangis di Persidangan hingga Menyeret Beberapa Nama

Diperbarui: 24 Maret 2018   14:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi ll dokpri

Bila ada penghargaan politisi yang paling mahir memainkan drama, mungkin kita bisa sematkan itu kepada Mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto.

Bagaimana tidak, sejak awal penyelidikannya sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP banyak keganjilan yang ditontonkan kepada publik.

Awalnya sebelum ditangkap, Setnov (sapaan akrab Setya Novanto) memainkan drama sakit dan dirawat di inap dengan infus bayi. Namun setelah melewati masa pemanggilan KPK, dia tiba-tiba sembuh. Sandiwara itu diulang hingga dua kali.

Kemudian, saat kesabaran publik dan KPK sudah tidak bisa ditahan lagi, Setnov berlagak seolah kecelakaan dengan menabrakkan mobilnya ke tiang listrik. Dia pun kemudian seolah-olah cedera.

Diduga keras tingkahnya itu dilakukan untuk mengelabui petugas keamanan dan khususnya menunggu pra-peradilan. Namun, setelah strategi pra-peradilan gagal, dia pun melanjutkan drama hingga kini.

Beberapa waktu lalu, Setnov menangis tersedu-sedu dalam persidangan. Ia mengucapkan permintaan maafnya sembari menangis. Tangisan Novanto terdengar sesaat setelah hakim menyelesaikan pertanyaannya.

Tak hanya itu, Setnov juga mengajukan dirinya sebagai "justice collaborator". Drama itu diikuti dengan menyeret beberapa orang sebagai pihak yang turut menerima aliran dana e-KTP, diantaranya Pramono Anung dan Puan Maharani. Ia menuduh kedua politisi PDI Perjuangan itu termasuk pihak yang menerima uang.

Penyebutan nama-nama itu belum bisa dijadikan dasar persidangan karena masih bersifat subyektif. Apalagi belum ada bukti dan data yang mengarah ke arah itu.

Dengan segala sepak terjang di atas, kita harus paham bahwa permintaan maaf Setnov serta keputusannya menjadi JC adalah dalam rangka menyelamatkan diri agar lolos dari jeratan hukum. Ia membangun strategi JC dengan menyeret nama orang lain untuk menutupi kesalahannya sendiri.

Ia menyeret orang lain yang belum tentu bersalah. Hal itu hanya strategi agar dirinya terlihat kooperatif dan bisa lolos dari jeratan hukum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline