Peta Sinergis berbasis Aset-aset
Model perencanaan yang dimulai dengan melihat kekurangan, kemiskinan, ketidakmampuan, kesalahan, dan masalah-masalah, tidak hanya sudah semakin ditinggalkan oleh banyak perencana kawasan dan pemikir pembangunan, melainkan juga sudah terbukti tidak dapat lagi dengan obyektif dapat dijadikan landasan pikir dan mengembangkan perencanaan. Sebuah kawasan bukanlah kumpulan masalah-masalah yang lalu perlu diberi solusi dengan memberi sesuatu yang baru sama sekali. Apalagi jika solusinya adalah sesuatu yang asing, yang datang jauh dari kawasan itu sendiri.
Pengembangan kawasan yang sinergis membutuhkan pemetaan yang sinergis pula. Dalam hal ini jelas bahwa prasyarat utama yang dibutuhkan adalah keterbukaan informasi antar wilayah dalam kawasan itu. Malang Raya yang meliputi Kota Malang, Kota Batu dan Kabupaten Malang, berada dalam kesatuan entitas historis, ekologis, ekonomis, dan budaya. Inilah kekayaan dan aset-aset terpenting yang perlu dipetakan secara menyeluruh dalam satu kesatuan gambaran masa depan yang menjadi visi bersama. Untuk membuat peta sinergis itu ada empat hal yang paling mendasar yaitu: Aset berupa Sumber Daya Manusianya, Alam, infrastruktur, dan Jaringan teknologi-sosial. Dan, dimanapun, pemetaan yang terpenting yang akan memberi pengaruh paling besar pada terciptanya perencanaan yang sinergis adalah fokus pada Manusianya.
Penduduk Malang Raya inilah yang semestinya perlu dijadikan alasan mendasar mengapa perencanaan dilakukan. Bukan perusahaan tertentu, bukan ide-ide tertentu (semisal niat menjadi pusat tourism, pusat pendidikan, pusat tradisi seni dan lain sebagainya), dan bukan pula sekedar untuk memenuhi keinginan segelintir kekuasaan. Penduduk wilayah Malang Raya itu jugalah yang nantinya akan mengerjakan, terkena imbasnya, dan mengalami serta menanggung beban dari segala bentuk perencanaan wilayah yang akan dilakukan. Jadi partisipasi sepenuhnya dari penduduk ketiga wilayah adalah syarat mutlak untuk memulai segala bentuk perencanaan.
Transportasi Integratif
Impian kawasan yang sedang berkembang bersama dengan kepadatan penduduk dan tingginya mobilitas penduduknya adalah alasan utama pentingnya penyebaran beban kepadatan dan sistem transportasi masal. Kawasan Malang Raya sudah sangat jelas membutuhkan dua hal itu segera. Dalam hal inipun dua pilihan seperti di atas menantang semua pihak. Berusaha membangun impian berdasarkan contoh dari kecanggihan penataan ruang dan sistem transportasi mutakhir seperti di negara-negara maju atau dengan melihat apa yang ada, yang terbaik yang sudah berjalan dan dimiliki untuk dikelola dengan maksimal melalui sistem management transportasi yang diperbaiki.
Persoalan transportasi yang diatasi dengan menambah dan membangun infrastruktur dan alat transportasi - apalagi yang langsung super canggih seperti monorel - hanya akan menjadi impian kosong tanpa dimulai dengan memperbaiki Sumber Daya manusianya dalam mengelola sistem managemen dan menjalankannya secara konsisten. Kalau manusianya saja belum mampu memaksimalkan apa yang sudah ada, bagaimana mungkin dapat segera meloncat dengan peralatan dan infrastruktur yang baru? Bagaimana mungkin kita bermimpi menjadi seperti Singaphore, Jepang atau Negara di Eropa, kalau apa yang sudah kita miliki, seperti trem peninggalan Belanda (yang sudah menguap aset-asetnya), Angkutan kota, dan angkutan antar wilayah yang jelas-jelas sudah ada dan masih berfungsi yang kita miliki itu kita sia-siakan?
Kita sudah memiliki contoh sangat baik bagaimana Perusahaan Kereta Api dengan cepat bisa mengembangkan diri berdasarkan pada apa yang ada dan dimiliki. Sistem managemen dan disiplin bersama nampaknya adalah kunci sukses mereka. Dengan begitu impian penambahan, pembangunan baru fasilitas dan infrastruktur menjadi mudah dibayangkan untuk dicapai. Karena apa? Karena masyarakat sudah semakin tahu bahwa Kereta Api memberi manfaat yang konsisten buat mereka.
Kebijakan yang Berpihak
Selama jalan raya lebih menguntungkan bagi pengguna kendaraan pribadi, sementara menjadikan Angkutan Kota dan Angkutan umum lainnya dan pengguna kendaraan roda dua (bermotor atau tidak) sebagai masalah, sebagai sasaran tuduhan biang kerok kemacetan, hal itu semakin memperlihatkan kemana sebenarnya arah keberpihakan pemerintah. Selama tempat parkir di Gedung-gedung pemerintah, kampus-kampus, Mall-mall, Pasar dan pusat keramaian, mengutamakan kenyamanan dan keamanan pengguna mobil pribadi dan bukan halte angkutan umum, parkir terdekat dengan gedung pada penyepeda, maka bicara soal kemacetan hanyalah alasan yang dicari-cari saja. Selama infrastruktur yang tersedia lebih memudahkan arus perjalanan kendaraan bermotor dan bukan arus perjalanan pejalan kaki, selama itu pula orang tidak akan percaya jika pemerintah berpihak pada rakyat kecil.
Logika rakyat kecil sederhana, tapi cerdas dan efektif. Jalan adalah ruang untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Jalan kaki adalah pilihan paling efektif yang bisa dilakukan, karena paling murah, sehat, dan bersahabat dengan manusia lain. Kalau jarak tempuhnya makin jauh dibutuhkan alat angkut, tentu dengan dasar pikir yang sama; murah, sehat (aman dan nyaman), dan dalam tradisi ketimuran kita syarat ketiga ini selalu penting yaitu bersahabat dengan manusia lain. Nah ketika perencanaan transportasi tidak berorientasi pada logika seperti ini, maka jelas sistem yang diciptakan bertujuan untuk merubah orientasi masyarakat. Dan kecenderungan yang ditawarkan hingga saat ini adalah impian semu bahwa yang paling beruntung adalah memiliki kendaraan roda empat pribadi. Di jalan diutamakan karena jarang dirazia Polisi, bisa mengalahkan kendaraan roda dua, parkir mendapat tempat utama, dan dari segi ekonomis biaya operasionalnya tak jauh berbeda dengan pengguna Angkutan Umum (yang kehilangan banyak waktu, berjubel tak nyaman).
Keberpihakan kebijakan di bidang transportasi sangat mudah ditengarai jika para pengambil kebijakan itu memposisikan diri pada situasi hidup riil yang dihadapi rakyat kecil, pengguna trotoar untuk jalan kaki, pengguna sepeda (yang di jalan raya harus berebut jalur dengan mobil pribadi), pengguna angkutan umum (yang tidak pernah bisa dipastikan kapan datang dan tibanya di tujuan). Sekali lagi hal ini memperlihatkan bahwa selain proses perencanaan, pertimbangan untuk pengambilan kebijakan pun harus dimulai dari memandang pada manusianya.
Rekayasa gerakan interaktif manusia
Gerakan interaktif manusia pada dasarnya bersifat alamiah. Mensyaratkan adanya kebebasan untuk menentukan alternatif dan pilihan yang bisa ditempuh. Itulah sebabnya sejak dari nenk moyang kita, jalan keluar dari sebuah desa atau kampung disesuaikan berdasar mata angin. Ada banyak alternatif tersedia, bahkan ruang-ruang cadangan terbuka yang sekalipun semua jenis kendaraan tak bisa melewatinya, manusianya tetap bisa berpindah. Itulah bentuk rekayasa gerakan interaktif manusia yang paling bijak dan memiliki ketahanan terhadap bencana.