"Ada semacam kebiasaan yang unik-aneh dan sedikit tidak masuk akal yang secara menyedihkan terus dijalani dan nampaknya semakin banyak digemari. Sebutlah namanya Tradisi Braokan; berteriak-teriak, bersuara dengan kencang, nyaris membentak, dan terkesan memaksa kalau tidak juga marah."
Braokan
Sewaktu kecil dulu aku sering mendengar nasehat suapaya orang tidak membiasakan diri untuk braokan. Yaitu cara menyampaikan pendapat dengan sepenuhnya usaha untuk menguasai pembicaraan, agar pendengar merasa terintimidasi dan dengan serta-merta menerima dan menyetujui, dengan cara penyampaian melalui suara yang keras penuh dengan pengulangan-pengulangan dan penekanan-penekanan pada hal-hal tertentu. Tak jarang model penyampaian ini memaksa orang untuk memberi afirmasi yang sifatnya aklamatif. Kalau kurang aklamatif, semakin keraslah braokannya. Semakin enggan reaksi orang, semakin semangatlah braokannya. Dan semakin braokan itu menemukan pembenaran-pembenaran (entah itu argumen yang sehat atau tidak), semakin tak berujung dan tak terhenti braokan dilakukan.
Saya menduga tradisi braokan ini ada kaitannya dengan setidaknya tiga hal, yaitu: Pertama: belum tuntasnya kita memahami, atau belum mampunya kita membuat perbedaan antara dua hal yang sebenarnya saling melengkapi dan membuat orang menjadi bijak, yaitu tradisi lisan dan tradisi tertulis. Kedua: adanya asumsi bahwa menyampaikan sesuatu hal yang serius dan penting itu harus dengan cara-cara braokan. Ketiga: berkembangnya sistem edukasi yang melulu entertain, yang menganggap bahwa semua orang adalah anak-anak yang kalau tidak diberi tahu dengan cara braokan maka mereka tidak akan mengerti.
Tradisi Lisan
Jangankan di halte-halte atau tempat mangkal angkutan umum, di kantor transportasi masal paling resmi semacam terminal dan stasiunpun, muncul anggapan bahwa semua calon penumpang adalah orang-orang bodoh, tak tahu tujuan, tak bisa membaca, dan tak mengerti cara berkomunikasi dengan santun. Teriakan, paksaan, intimidasi, yang berasal dari sumber resmi kantor yang bersangkutan atau dari sumber tidak resmi pengusaha taxi, angkutan umum, ojek, sales wisata, sales hotel, bahkan kadang bercampur dengan teriakan-teriakan orang menjajakan barang dan jasa saling berebut pengaruh dengan bebal ... eh maksud saya dengan bebas.
Muka orang ditunjuk-tunjuk, dipelototi, dirayu dengan wajah memelas, dimanipulasi dengan rayuan-rayuan, hiruk pikuk suara yang hampir seluruhnya tidak dibutuhkan oleh para calon penumpang, para penjemput, para wisatawan yang sekedar jalan-jalan adalah suguhan sehari-hari. Kalau kebetulan terminal atau tempat mangkal angkutan umum itu berada di lokasi yang sama dengan pasar, bisa dibayangkan betapa besar beban harus ditanggung oleh telinga dan pikiran sehat kita.
Jangankan di demonstrasi buruh atau mahasiswa, petani atau karyawan, pedagang atau pecinta lingkungan, suara-suara braokan itu bunyinya hampir sama dengan yang terjadi di kelas-kelas, di lapangan-lapangan, di kantor-kantor, di pelatihan-pembinaan-pemberdayaan, bahkan di mimbar-mimbar. Kombinasi tulisan dan lisan dimanfaatkan dengan baik, namun semangat braokan tak bisa dihindari. Mengapa?
Tradisi lisan mengisyaratkan bahwa penyampaian pesan penting dan serius itu tersalur dari mulut ke telinga ke otak ke hati ke otak lagi dan ke mulut lagi keluar untuk disampaikan kembali. Itulah yang menghasilkan kearifan budaya dan tradisi yang mendahulukan harmoni keras-pelan, cepat-lambat, baik dalam gerak tari, pewarnaan lukisan, dan maupun melodi musik.
Tradisi lisan yang sesungguhnya justru memastikan bahwa apa yang disampaikan oleh mulut itu selalu berupa hal-hal yang sangat penting dan berguna, dikemas melalui segala ragam cara penyampaian melodisnya, hingga kadang menghimbau pendengar untuk mampu mendengar apa yang tak tersampaikan, memahami apa yang tak terdengar. Jadi jelas, tradisi lisan itu memanusiakan manusia, melihat bahwa pendengar adalah orang yang memiliki kecakapan persepsi dan interpretasi, dan akan menghasilkan reproduksi pesan yang semakin berarti.
Jadi tradisi braokan itu tidak secara langsung bersumber dari keindahan dan bermartabatnya tradisi lisan kita. Tradisi braokan itu efek samping dari modernitas pengeras suara yang mulai diaplikasikan pada tradisi-tradisi lain yang bersumber pada tradisi lisan. Tradisi braokan itu kini semakin modern bentuk, cara, dan penampilannya. Dalam masyarakat komunalistik (yang kadang kebablasan) ini, budaya braokan itu sering dipakai sebagai tanda bahwa masih terjadi koneksi antara penyuara dengan pendengarnya.
Suatu hari, saya kebagian sebagai seksi perlengkapan di dalam sebuah hajatan tetangga. Datanglah jasa persewaan sound system dan mulai memutar musik dengan volume maksimal, sebagai panitia yang banyak nganggurnya saya dekati operator dan memintanya supaya volume dikurangi hingga membuat orang bisa mendengar musiknya dengan rileks. Beberapa lagu berlalu dengan asyik sampai datanglah seorang kerabat si empunya hajad datang dan bertanya kepadaku mengapa musiknya kok pelan sekali. Saya sampaikan alasanku dan terkejut mendengar sanggahan beliau: "Ini sound system sudah dibayar kok pak, rugi kalau tidak diputar maksimal". Sambil tersenyum dia meminta operator memaksimalkan volume, dan membuatku kehilangan akal sehat sejenak.