[Bagaimanakah orang Kristen Protestan memahami begitu pentingnya Puasa Ramadhan bagi sahabat-sahabat Muslimnya?]
Pendahuluan
Secara spontan pastilah dengan lantang dikatakan bahwa sebagai orang yang beragama, orang Kristen sangat menghargai bulan Ramadhan dan menghormati sahabat Muslimnya yang berpuasa. Tidak jarang bahkan ditambahkan dengan istilah mengasihi penuh pengertian dan melakukan aksi-aksi yang bersifat mendukung dan menolong terselenggaranya Puasa. Namun, apa maksudnya, dan bagaimana tingkat pemaknaan terhadap sikap menghargai dan menghormati itu, adalah perkara lain.
Melalui tulisan ini saya sama sekali tidak hendak mengupas pemahaman dan pemaknaan Puasa yang dilakukan oleh sahabat Muslim. Saya ingin sedikit berefleksi, sebagai orang Kristen, bagaimana pemahaman dan pemaknaan saya dan kebanyakan orang Kristen terhadap praktek Puasa yang dijalani oleh sahabat Muslim saya. Tujuannya adalah untuk lebih memperkaya wawasan penghargaan dan penghormatan pribadi tidak hanya pada apa dan bagaimana sahabat Muslim saya menjalani Puasa, melainkan juga sampai pada pemahaman dan pemaknaan keimanannya.
Spontanitas basa-basi
Seringkali respon spontan diatas disusul dengan penjelasan yang juga singkat yaitu dengan menggunakan alasan bahwa memahami Puasa adalah memahami perjumpaan lintas tradisi. Dari sejarah tradisi yang sama-sama dimiliki, praktek Puasa merupakan tradisi yang juga dikenal oleh orang Kristen. Kadang juga dijabarkan latar belakang historis dengan dasar pemahaman kesamaan tradisi agama-agama Abrahamic. Bahwa Puasa adalah ritual penting sejak dari dulu, yang kemudian menemukan penyempurnaan praktek ritual dan pemaknaannya pada masing-masing agama.
Pendekatan dengan Model penyamaan, mencari persamaan, dengan beragam perspektif yang bisa dikembangkan memang nampak menguntungkan bagi pemahaman yang lebih menawarkan saling pengertian. Selain perspektif historis, pendekatan persamaan ini menawarkan agar setidaknya agama lain melihat tradisi yang dipraktekkan sahabat Muslimnya dengan perasaan yang sama, atau mungkin juga pengalaman yang sama. Yaitu melakukan ritual Puasa persis sebagaimana dipraktekkan oleh sahabat Muslim.
Namun kadang model penyamaan seperti ini mudah terjebak hanya dalam kuantitas Puasa dan praktek "sengaja menderita" yang sama. Tak urung, sekalipun kelihatan sangat alim, tradisi Kristen sering menyebut angka jumlah hari Puasa sebanyak 40 hari menjelang Paskah (10 hari lebih banyak dari sahabat Muslim). Nah, nampak sudah kesombongan yang tak tersadari. Dan karena tradisi itu diangkat dari apa yang pernah dilakukan Yesus (Puasa 40 hari 40 malam), maka negosiasi terhadap disiplin "sengaja menderita" bagi tradisi Kristen bentuknya cenderung menjadi pemakluman-pemakluman yang sangat bebas - bahkan untuk sama sekali tidak melakukan apa yang disebut sahabat Muslim sebagai berpuasa. Namanya saja yang sama yaitu Masa Puasa, namun jelas, praktek dan tingkat disiplin yang dilakukannya sangat jauh berbeda. Maka, apakah sepadan jika model pendekatan penyamaan seperti ini dijadikan landasan untuk memahami pemaknaan Puasa?
Model penyamaan tradisi dengan begitu mudah sekali menjadi bentuk persaingan tradisi, yang ujung-ujungnya tetap terjebak dalam diskusi bahwa dialog itu proses mencari-cari yang sama, proses membanding-bandingkan, proses menghargai - namun hanya dalam tataran praktek dan disiplin saja. Sehingga tidak dapat masuk kedalam refleksi bersama tentang keberagaman pemaknaan yang memperkaya spiritualitas masing-masing agama.
Prapaham atau Standard Ganda?
Ada beberapa hal yang perlu disinggung sebelum masuk ke dalam pemahaman dan pemaknaan tentang puasa yang dijalani sahabat Muslim yang menjadi prapaham Kristen: