Lihat ke Halaman Asli

Ketidakberdayaan Hukum Positif Dalam Pemberantasan Korupsi

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesuatu yang baik, belum tentu benar. Sesuatu yang benar, belum tentu baik. Sesuatu yang bagus, belum tentu berharga. Sesuatu yang berharga, belum tentu bagus

Hukum merupakan pranata yang bersifat sentral bagi sifat sosial manusia, karena tuntutan akan perubahan menyentuh segenap aspek kehidupan sosial menjadi sebuah keharusan dan rasionalisasi atas perkembangan zaman serta pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang teratur, adil dan makmur. Kaitannya terhadap hukum sebagai a tool of social engineering, dimana perubahan tersebut terdiri atas kaidah-kaidah individu yang mempengaruhi pada perubahan tingkah laku, perubahan pada kaidah-kaidah kelompok meniscayakan terjadinya perubahan secara langsung pada satuan yang tergolong sub sistem politik dan perubahan pada kaidah-kaidah masyarakat merupakan perubahan yang paling fundamental sifatnya karena meliputi perubahan nilai-nilai dasar suatu masyarakat. Mengamati fenomena akan tuntutan perubahan banyak menimbulkan masalah-masalah sosial. Kendati demikian perubahan bukan berarti harus meniadakan hukum, akan tetapi bagaimana perubahan itu terjadi dalam kerangka umum serta jalur hukum yang menghargai harkat kebenaran dan keadilan.

Merunut sejarah abad ke-19 terjadi perubahan secara revolusioner yang berimplikasi diberbagai bidang antaranya bidang hukum itu sendiri. Implikasi tersebut memberi pengaruh terhadap cara pandang hukum yang semula bersifat abstrak dan legalitas formal menuju pada suatu cara pandang yang bersifat yuridis-sosiologis. Mazhab yang dipelopori von Savigny, telah menarik perhatian banyak orang dari suatu analisis hukum yang bersifat abstrak dan ideologis kepada suatu analisis hukum yang difokuskan pada lingkungan sosial yang membentuknya, ia berpendapat “das recht wird nicht gemacth, est ist und wird mit dem volke” (hukum itu tidaklah dibuat, melainkan ada dan tumbuh bersama rakyat). Suatu hal yang patut digaris-bawahi terhadap aspek penentangan terhadap cara pandang hukum yang sifatnya legalistic positivistic yangkemudian dipertegas oleh pendapat Eugen Ehrlich, salah seorang tokoh aliran sosiological yurisprudence, yang mengatakan bahwa “at the present as well as at any other time, the center of grafity of legal development lies not in legislation, nor in juristic science, nor in judicial decision, but in society it self” berbicara tentang hukum, maka ia bukanlah hal yang statis, hukum dari waktu ke waktu senantiasa mengalami perkembangan, dan merupakan konsekuensi logis dikarenakan pertumbuhan dan perkembangan hukum itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Oleh sebab itu dibutuhkan peranan hukum dalam menjaga keseimbangan tatanan di dalam masyarakat serta mengembalikan pada keadaan semula (restitutio in integrum), tentu diperlukan kaidah sebagai pedoman untuk bertingkah laku atau bersikap di dalam masyarakat agar kepentingan manusia terlindungi. Masyarakat tidak hanya ingin melihat keadilan diciptakan dan kepentingan-kepentingannya dilayani oleh hukum, melainkan masyarakat juga menginginkan agar terdapat peraturan-peraturan yang menjamin kepastian dalam melakukan interaksi sosial. Oleh karena itu, proses kontruksi tersebut mengandung tuntutan akan tiga hal yang oleh Radbruch, sebagai “nilai-nilai dasar dari hukum” tentunya menghadirkan tiga aspek: Keadilan, Kemanfaatan dan kepastian Hukum. Disatu sisi kepastian hukum membutuhkan sebuah perangkat legalitas formal, menghendaki sebuah keteraturan di dalam suatu negara serta berambisi menawarkan jalan-jalan eksploratif untuk menopang dogmatika hukum dan peraktek-peraktek hukum.

Seperti yang dikemukakan oleh Roscoe Pound mengenai konsep hukum sebagai a tool of social engineering tidak terlepas pada penegakan hukum (law enforcement) yang merupakan ujung tombak agar terciptanya tatanan hukum yang baik dalam masyarakat dengan bahasa yang lebih lugas. Penegakan hukum tidak lain dari segala daya upaya untuk menjabarkan kaidah-kaidah hukum dalam masyarakat agar terlaksananya tujuan hukum.

Proses penegakan hukum khususnya, acap dipandang bersifat diskriminatif, inkonsisten, dan mengedepankan kepentingan kelompok tertentu. Kelihatannya yang terjadi di Indonesia adalah masalah penegakan hukum. Hal ini tidak pernah serius dibicarakan sehingga masalahnya tidak pernah teridentifikasi secara komprehensif dan obyektif. Seringkali ketika masalah penegakan hukum ingin dipecahkan guna mencari metode, kepentingan-kepentingan mulai berbicara, tidak pernah dicapai pendekatan yang obyektif sehingga konsekuensinya adalah kesimpulan rekomendasi yang diberikan selalu bias, dan tidak heran jika diskusi-diskusi tentang penegakan hukum di Indonesia selalu berputar-putar tanpa jelas ujung-ujungnya. Fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial (a tool of social engineering) hanya isapan jempol belaka yang menghiasi rak-rak buku di perpustakaan tanpa dapat diwujudkan dalam prakteknya.

Kenyataan di Indonesia menunjukkan bahwa komponen yang terhimpun dalamcriminal justice system dalam melakukan perwujudan hukum kepada masyarakat tersebut sebagian besar belum melakukan fungsinya dengan baik, sehingga output yang dihasilkan pun seringkali menimbulkan kontroversi di dalam masyarakat. Selanjutnya, Para penegak hukum tersebut dalam menerapkan hukum belum memberikan angin segar bagi masyarakat Indonesia. Adapun halnya dalam proses penegakan hukum, terutama pada kasus korupsi seringkali mengalami yang namanya disparitas dalam pemidanaan dimana pelaku utamanya senantiasa diberikan angin segar oleh aparat penegak hukum, dan bahkan ketika penjatuhan pemidanaan lebih ringan dari pada orang yang turut serta dalam melakukan korupsi bahkan korupsi yang merupakanekstra ordinary crime dalam penjatuhan pemidanaan jauh lebih ringan dibandingkan dengan kejahatan pencurian (delik konvensional). Ini merupakan bentuk diskriminasi yang terjadi dalam proses penegakan hukum Indonesia, seperti yang dikemukakanAchmad Ali, “Dalam kehidupan hukum di Indonesia, yang berlaku adalah keadilan sarang laba-laba yang hanya mampu menjaring serangga-serangga kecil, tetapi akan robek manakala yang akan di jaring adalah serangga kelas kakap, dalam kondisi seperti ini tentunya keadilan di Indonesia masih sangat sulit untuk ditegakkan”(Achmad Ali, 2004:133)

Hal ini tentunya melemahkan kewibawaan hukum serta pengadilan di mata masyarakat, selanjutnya masyarakat tidak akan pernah lagi menghormati hukum dan melakukan pengadilan sendiri (street juctice). Ahmad Gunaryo, dalam sambutannya sebagai ketua penyelenggara Seminar Nasional yang bertopik “Menggugat Pemikiran Positivistik di Era Reformasi”, Semarang 22 Juli 2000 antara lain mengemukakan, “memikirkan kehidupan umat yang sedang menuju kearah anomi, baik secarapersonal, social, maupun institutional dimana suatu keadaan manusia sudah tidak tahu lagi standar prilaku yang harus diterapkan atau state of normlesness.

Pada tataran personal, seorang manusia gampang mencurigai manusia lainnya, gampang berperilaku sesukanya seolah-olah tidak ada lagi aturan-aturan yang dapat dijadikan pegangan pada tataran sosial. Tampak bangsa ini sedang mengembangkan dan menerapkan blind communal homogenous society (kehidupan homogen komunal yang membabi buta) sedangkan pada tataran institusional, ada ketidakmampuan hukum untuk mencegah anomi trend dimana lembaga-lembaga penegakan hukum dalam arti luas seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman serta advokat. Mereka tampak tidak berdaya untuk melaksanakan fungsi-fungsi penegakan hukum dengan baik, tentu saja tidak hanya mengedepankan formal justice, tetapi juga subtantial justice.(Achmad Ali, 2002: 50-51).

Berangkat dari paradigma legalistic positivistic dimana sistem hukum tidak diadakan untuk memberikan keadilan bagi masyarakat, melainkan sekedar melindungi kemerdekaan individu oleh karena senjata utamanya adalah kepastian hukum. Paradigma positivistik berpandangan, demi kepastian maka keadilan dan kemanfaatan boleh dikorbankan, karena dengan mengandalkan pemahaman hukum seperti ini kita tak akan pernah mampu menangkap hakikat kebenaran baik secara history maupun filosofis yang melahirkannya. Setelah runtuhnya rezim orde baru diharapkan dapat memberikan perubahan bagi bangsa Indonesia agar dapat keluar dari krisis berkepanjangan, justru malah sebaliknya diera reformasi sampai pada kepemimpinan SBY saat ini masih berada pada keterpurukan hukum,indikatornya adalah korupsi masih pada posisirangking tertinggi di Indonesia. Artinya, persoalan pemberantasan korupsi di Negara ini masih sangat kompleks dan memperihatikan

Ketidakberdayaan Hukum

Berdasarkan survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) &Tranfarency International, Indonesia mendapatkan piagam sebagai negara yang paling korup di 16 Negara Asia Pasifik. Kita sadar korupsi sampai batas-batas tertentu, tidak saja mengancam lembaga-lembaga demokrasi dan hak-hak dasar kemerdekaan, tetapi juga menghambat pembangunan dan memperparah kemiskinan. Adapun korupsi yang dilakukan baik pejabat eksekutif, legislatif maupun penegak hukum, tentunya akan berdampak pada kemiskinan struktural, sisi lain korupsi pun merupakan penyakit pemerintah dan masyarakat yang jika dibiarkan terus menerus menjangkiti dan menciptakan pemerintah yang irasional, pemerintah yang didorong oleh keserakahan, bukan oleh tekad memenuhi kebutuhan rakyat, dan yang mengacaukan pembangunan disektor swasta, korupsi akan menjauhkan kita bahkan dari kebutuhan manusia yang paling mendasar yaitu harapan. Karena itulah perlu kita melakukan refleksi dimana kita mempertanyakan sebenarnya apa yang sedang terjadi terhadap hukum kita. Mengutip dari ungkapan Wiliam Shakespeare “The law had not been dead, thougt it hath slept”(undang-undang belum mati, walaupun ia telah tidur), dan kalau masih tidur tindakan yang paling tepat adalah membangunkannya(Achmad Ali, 2004: 69).

Kita ketahui bersama bahwa korupsi menghambat pengembangan demokrasi, menghambat kinerja lembaga-lembaga publik dan akhirnya korupsi pun menutup kemungkinan bagi warga masyarakat yang paling lemah untuk turut menikmati pembangunan serta mutu kehidupan yang lebih layak. Sebagai orang yang skeptis bertanya-tanya apakah hukum di negara kita masih bisa diharapkan seperti apa yang didengungkan di bumi pertiwi ini, “meski langit akan runtuh hukum harus tetap ditegakkan” kelak akan terbukti. Di tengah kepastian masa depan Bangsa menuju sebuah cita dan peradapan Indonesia, setidaknya perasaan ini cukup beralasan dengan melihat fenomena yang ada. Dalam konteks transisi demokrasi dibutuhkan pendekatan hukum yang lebih kritis entah preventif moralistik maupun represif proaktif. Pendekatan moralistik tersebut merupakan rambu-rambu pembatas untuk meluruskan langkah penegakan hukum tersebut dan memperkuat integritas penyelenggara negara agar selalu memegang teguh rasa keadilan di masyarakat. Kini saatnya hukum harus ditinjau kembali ke akar moralitas, kultural, dan akar relegius, sebab hanya dengan cara itu masyarakat akan merasakan hukum itu cocok dengan nilai-nilai instrinsik yang mereka anut sehingga apa yang mereka lakukan tidak hanya taat karena takut sanksi (compliance). Disamping itu perlunya inisiatif untuk meningkatkan standar tata pemerintahan di Indonesia dengan pendekatan yang paling ampuh diantara semua pendekatan yaitu pengembangan “Sistem Integritas Nasional” yang dilakukan secara sistematis dengan pendekatan yang holistic.

Adapun tujuan pokok dari pembangunan sistem integritas nasional adalah membuat tindak pidana korupsi menjadi tindakan yang mempunyai resiko tinggi hal ini yang kemudian perlu dijadikan pertimbangan tentang semangat pemberantasan korupsi tidak hanya sekedar penjatuhan sanksi tapi juga bersifat fungsional (pentingnya mengembalikan keuangan negara). Pada dasarnya negara-negara berkembang dan negara dalam peralihan haruslah berusaha menjauhkan diri dari sistem yang bersifat atas bawah menuju pada sistem tanggung-gugat horizontal dimana masing-masing pemegang kekuasaan mempertanggung-jawabkan penggunaan kekuasaannya pada masyarakat. Meski gelombang demokrasi yang muncul sekarang ini tampaknya mengembirakan namun dalam praktek pengembangan demokrasi menghadapi ancaman dari beberapa gejala yang sebenarnya akan dijadikan sasaran untuk dilenyapkan yaitu kejahatan korupsi itu sendiri.

Mengembangkan demokrasi pada dasarnya adalah memperkenalkan bentuk lain dari tanggung-gugat vertikal tetapi perbaikan instrumen tata kelolah pemerintahan memerlukan lebih dari sekedar beralih dari sistem totaliter ke sistem mendengarkan suara rakyat dari waktu ke waktu. Peralihan sistem tanggung-gugat vertikal ke sistem tanggung-gugat horizontal, baik itu Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif harus saling mengawasi satu dengan yang lain dalam artian tidak ada suatu lembaga yang dikultuskan bersih kemudian dapat mengancam keberadaan lembaga yang lain. Hal ini tentunya sangat berbahaya jika telah terjadi demikian semisal institusi KPK telah meraih trust publik yang begitu kuat sehingga dapat membuka ruang penyalahgunaan kewenangan bagi oknum-oknum di Institusi tersebut. Semangat integritas harus tetap digalakkan agar terciptanya chek and balance antara satu dengan yang lain sehingga apa yang menjadi harapan kita bersama dapat terwujud menuju peradapan bangsa Indonesia yang lebih baik.

oleh: Muh. Yusuf Sahide, SH (Direktur KPK WACTH INDONESIA)

http://www.kpkwatch.org/indonesia/berita-korupsi-lengkap/19/KETIDAKBERDAYAAN-HUKUM-POSITIF-DALAM-PEMBERANTASAN-KORUPSI/




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline