Tubuhku ringkih, mataku sayu, kulitku legam, kakiku pincang. Aku tak sedikitpun punya tenaga untuk bangun. Perutku keroncongan, sedikit melilit karna salah makan. Mungkin karna sebungkus nasi yang terbuang, hasil mengais-ngais sampah depan warung makan.
Tidurku pulas, beralaskan koran dan tumpukan barang yang telah terbuang. Terik matahari seharian tadi sudah menjadi jaket untuk dinginnya malam yang tiada ampun membuat orang begidik kedinginan. Setiap hari selalu ku dengar alunan nina-bobo dari sumpah serapah berandalan.Mengumpat kesana kemari sambil mengacungkan sebotol air haram. Sesekali menendang membangunkanku, meminta uang. Aku masih beruntung terlahir sebagai gelandangan, walau bertubuh kurus tak terawat, setidaknya aku masih punya akal sehat.
Anakku merengek hari ini, setelah berjam-jam kuajak berjalan mengais rezeki. Diujung perempatan dibawah jembatan, wajahnya datar, matanya kosong, fikirannya melayang. Entah apa yang tengah ia amati. Rupanya ia sedang iri pada perbedaan nasib yang telah Tuhan gariskan. Dengan pemandangan seorang anak dan bapak yang berpakaian rapi tengah bergurau dibawah payungan halte seberang jalan. Ibunya diam memperhatikan sambil menyungging senyum kebahagiaan. Beberapa saat raut wajahnya berubah, namun bibirnya bungkam, sesekali berkedip, lalu mengalihkan pandangan. "Aku lapar", katanya.
Aku sadar,aku geram, aku gusar, namun aku santai. Tak baik berandai, lebih baik aku abai...
Jakarta, dikeheningan batin dikesemrawutan kota bulan lalu, 17 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H