Lihat ke Halaman Asli

Resensi Film: Zombieland (2009)

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Zombie, ya, zombie. Sebuah objek (atau subjek?) yang seringkali diangkat ke layar kaca sebagai inti dari film horor. Belakangan ini, film zombie juga menjadi trend tersendiri, silakan ingat kembali, berapa banyak film zombie yang masuk bioskop (atau nggak masuk sehingga ujug-ujug sudah ada aja dvd-nya di ITC Kuningan) dalam 5 tahun terakhir ini. Beberapa film mengangkat zombie sebagai sebuah topik inti dari dari film horor, bagaimana seorang jagoan bertahan di tengah-tengah serangan ribuan makhluk mengerikan. Beberapa justru mengangkat tema bertahan hidup tadi dengan caranya sendiri, dari yang satir seperti Dance of The Dead (2009), Shaun of the Dead (2004) hingga yang super nyeleneh: menjadikan zombie hewan peliharaan di film Fido (2006).

Jadi, tidak heran kalau di tahun ini, muncullah film seperti Zombieland. Film yang sebelum dirilis juga cukup menghasilkan hype yang sangat besar, hingga ketika dirilis film ini pun bisa menduduki peringkat box office tertinggi untuk film zombie, mengalahkan remake Dawn of the Dead (2005). Kalau begitu, sebagai seorang pecinta film zombie, wajar dong kalau film ini menjadi film yang sangat saya tunggu. Maka, hari ini, di tengah hari istirahat saya pun menyempatkan diri menonton film ini di sebuah bioskop di kawasan Sudirman.

Film ini sendiri masih bercerita tentang upaya mempertahankan hidup seorang tokoh bernama Colombus di tengah masyarakat Amerika Serikat yang sudah berubah menjadi zombie. Uniknya, dia menuturkan di awal film kalau dia bisa terus bertahan karena dia mematuhi beberapa peraturan buatan dia seperti #1 Cardio (menjaga kebugaran), #2 Double Tap (tembak zombie dua kali, 1 di kepala) # 3 Wear Seatbelts, dan masih banyak peraturan lain yang dituturkan sepanjang film. Dalam perjalanan, dia pun bertemu dengan tokoh lain seperti Tallahassee, Wichita dan Little Rock. Cerita pun bergulir seputar bagaimana keempat orang ini berusaha mencari tujuan selanjutnya dari usaha mereka bertahan hidup. Selain 4 tokoh tadi, ada juga cameo dari Bill Murray, aktor kawakan yang berperan sebagai dirinya sendiri.

Oke, sebagai sebuah film zombie, menurut saya sutradara Ruben Fleischer sangat berhasil mengemas Zombieland sebagai sebuah film komedi yang ringan namun cerdas. Peraturan-peraturan yang terus dikemukakan tokoh Colombus terus muncul, dan ditampilkan dalam bentuk visual seperti presentasi yang sangat menarik. Bagian awal film banyak bertutur tentang bagaimana serunya Colombus dan rekan-rekannya mempertahankan hidup. Ketika dia menulis aturan baru yaitu “enjoy the little things”, sebuah ajaran yang dia dapat dari Tallahassee film pun seperti berganti gigi, ke arah yang lebih ringan. Bagaimana ketika kita mempertahankan diri di tempat yang sudah cocok dikategorikan sebagai antah berantah dan berbahaya, memang tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk menghibur diri, selain melakukan hal-hal bodoh. Pesan ini tertangkap sangat jelas, oleh karena itu saya juga tidak mengeluh ketika ada adegan tidak koheren seperti menghancurkan toko souvenir Indian atau Tallahassee yang sebegitu ngefans sama makanan kudapan bernama Trixie. Karena, memang hal-hal remeh seperti itu menjadi hiburan bagi para survivor ini.

Secara umum, saya juga perlu memuji keberhasilan Fleischer dalam mempertahankan durasi pendek film dan mengisinya dengan berbagai adegan-adegan yang lucu namun tidak slapstick seperti Return of the Living Dead (1985). Simak bagaimana Colombus menduga Buck sebagai anjing Tallahassee, padahal itu adalah anaknya. Lalu bagaimana si kecil Little Rock berusaha menjadi dewasa dan bahkan belajar menembak. Atau detail-detail kecil seperti nama semua tokohnya, kecuali Bill Murray, adalah nama daerah yang masing-masing ingin tuju. Jelas sekali, konsep keterasingan, egoisme dan ketidakpedulian tergambar di sini. Karena memang, lagi-lagi ketika di kondisi apokalips seperti itu, mungkin kita juga tidak akan peduli siapa yang kita jumpai, selama itu masih manusia dan kita bisa bersama-sama selamat.

Secara umum, menurut saya film ini bisa memberikan perspektif lain dalam memandang ide “bertahan hidup di tengah wabah zombie”. Tidak dengan menjadi cuek atau super witty seperti di Shaun of the Dead (btw, Zombieland TIDAK selucu Shaun of the Dead), atau bahkan dengan memutar total ide zombie itu seperti di Fido, tapi dengan memberikan tokoh Colombus, si polos yang selalu berpikir positif bahkan ketika dia memang sedang bertahan hidup di tengah kepungan zombie. Ini juga bukan film lucu yang memaksa penonton untuk-untuk tertawa terpingkal-pingkal. Ini film cerdas. Pujian juga harus saya berikan ke Woody Harrelson yang berhasil menghidupkan tokoh Tallahassee dengan berperan sebagai si jagoan yang super legeg, cengos, slenge’an namun berwibawa.

Film yang sangat menghibur. Saya beri nilai 9/10.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline