Lihat ke Halaman Asli

rizqa lahuddin

rizqa lahuddin

Digital Nomad dan Perlakuan Perpajakannya

Diperbarui: 3 Februari 2021   13:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto : pexels.com

Namanya May, cewek asal hongkong yang kebetulan menginap di guesthouse yang sama dengan saya di Otaru, Hokkaido Jepang dua tahun lalu. Bahasa Inggrisnya cukup bagus.

Awalnya saya ngobrol dengan May karena kami sama-sama solo travelling. Tetapi ternyata orangnya seru diajak bercerita mengenai banyak hal walaupun sepertinya dia sedang sibuk mengerjakan sesuatu di laptop yang ada di depannya.

Berbeda dengan saya yang pergi ke Otaru dalam rangka backpacking, si May sekaligus juga sambil bekerja menyelesaikan desain yg dia buat. Bekerja sambil liburan katanya.

Teknologi memang memudahkan semua hal. Jika pekerjaan yang kalian lakukan lebih banyak di depan komputer, pekerjaaan tersebut pada prinsipnya bisa dilakukan dari mana saja, seperti May tadi.

Pandemi covid19 ini juga menunjukkan hal tersebut, karena sebagian dari kita bisa melakukan yang namanya Work From Home (WFH). Yang membatasi hanyalah aturan tempat kerja saja, ada yg membolehkan ada juga yg melarang karyawannya pergi ke luar kota.

Tetapi bagaimana dengan pekerja freelance, seperti programmer aplikasi, penulis buku, arsitek, dan sejenisnya? Mereka bisa bekerja dari mana saja, mendapatkan client dari mana saja hanya dengan bermodalkan akomodasi sementara dan sebuah gadget. Orang-orang seperti inilah yang disebut Digital Nomad.

Butuh rapat? Tinggal buka Zoom. Butuh kolaborasi dengan orang lain ada aplikasi semacam Slack. Kirim dokumen cukup lewat email dan tanda tangan digital. Menerima pembayaran, cukup ditransfer ke rekening, atau akun Paypal. Semuanya bisa dilakukan dari mana saja.

Dari mana saja artinya benar-benar bisa tanpa batas. Dalam konteks regional, dosen saya di suatu kampus Jakarta, pernah mengajar melalui Zoom saat beliau kebetulan sedang ada perjalanan bisnis ke Surabaya. Dalam konteks global, istri saya saat ini sedang mendapatkan pelatihan GMAT secara online dan pengajarnya berada di Amerika. Yang membatasi seorang melakukan pekerjaanya saat ini bukanlah jarak tetapi hanya soal jaringan internet, regulasi dan budget

Negara atau kota yang dipilih para digital nomad ini biasanya adalah tempat  dengan biaya hidup murah, infrastruktur internetnya memadai, dan kebijakan visa yang longgar, seperti Bangkok, Buenos Aires, Praha, dan tentu saja kalau di Indonesia ya Bali. Seperti yang baru heboh saat ini soal seorang digital nomad asal Amerika yang berada di Bali. 

Selama mematuhi regulasi, menjadi digital nomad bukanlah sesuatu yang melanggar aturan. Tetapi hal yang membingungkan orang adalah visa violation.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline