Lihat ke Halaman Asli

rizqa lahuddin

rizqa lahuddin

Mengenal "Profit Shifting", si Biang Kerok Kerugian Negara

Diperbarui: 18 Januari 2016   20:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - investasi di negara lain (Shutterstock)

Bayangkan Anda memiliki sebuah perusahaan dan berada di negara yang mengenakan pajak penghasilan atas keuntungan perusahaan Anda sebesar 12%. Kemudian Anda memiliki kawan bisnis di negara tetangga. Usahanya hampir serupa dengan Anda, tetapi di negara kawan Anda ini, pajak penghasilan yang diminta oleh pemerintahnya hanya 10%. Kira-kira sebagai pengusaha, apa yang Anda lakukan?

Dan untuk sekedar diketahui saja, ada lho negara yang hanya mengenakan pajak penghasilan dengan tarif 1% bahkan nol koma sekian persen. Sangat menggoda bukan?

Hal tersebut lah yang menjadi latar belakang praktek yang bernama "profit shifting", yaitu memindahkan keuntungan perusahaan kepada perusahaan lain yang merupakan affiliasi (masih memiliki hubungan kepemilikan). Biasanya perusahaan affiliasi tersebut terletak di negara yang memiliki tarif pajak paling rendah dengan tujuan untuk menghindari tarif pajak yang terlalu besar.

Apakah banyak perusahaan menerapkan ini? Mungkin Anda akan terkejut dengan jawabannya. Bahkan perusahaan sekelas pembuat gadget dengan logo buah itu pun melakukannya. Apakah praktek ini legal? Tergantung bagaimana sudut pandang Anda. Sang CEO terkenal pun pernah berujar bahwa hal tersebut terjadi karena dunia bisnis jauh lebih fleksibel dibanding birokrasi dan regulasi sehingga mengakibatkan praktek seperti ini bisa terjadi.

Sebagai contoh, ada salah satu perusahaan makanan asal Indonesia di mana kepemilikan induknya merupakan sebuah perusahaan yang terdaftar di Seychelles. Silahkan cari sendiri letaknya di mana dan berapa tarif pajak di sana.

Hal ini menjadi salah satu sumber kerugian negara. Tidak hanya di Indonesia, tetapi bahkan negara maju pun menghadapi masalah yang sama. Perdagangan bebas dan adanya perusahaan multinasional memang tidak bisa dibendung.

Sebagai gambaran, mungkin masyarakat umum mengira bahwa saya adalah pemilik sebuah perusahaan bernama PT. Cincau yang memproduksi makanan ringan bernama "Gurih Sedap" di Indonesia. Tetapi secara legal, saya adalah pemilik Cincau International Pte Ltd yang terdaftar di Republik Bahama, yang memiliki 51% saham PT. Cincau di Indonesia sebagai perusahaan pemasasaran snack "Gurih Sedap", yang produksinya sendiri melalui pabrik di China yang bernama Cincau Xinjuan (kepemilikan 40%), diimpor ke Indonesia oleh PT. Cincau Duta Nusantara, dan didistribusikan ke supermarket dan toko-toko melalui PT. Cincau Segar Bugar. 

Atas semua laba PT. Cincau, PT. Cincau Duta Nusantara, dan PT. Cincau Segar Bugar jika dikenakan pajak di Indonesia akan dikenakan tarif pajak sebesar 25% (secara umum), tetapi dengan profit shifting, dengan menggeser laba ke CIncau International Pte Ltd, maka jumlah pajak secara total yang dibayar bisa menjadi jauh sangat kecil.

Menarik bukan?

Inilah salah satu yang menjadi penyebab target pajak di Indonesia sulit tercapai. Masih banyak hal lainnya sih, tapi nanti akan coba dibahas satu per satu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline