Lihat ke Halaman Asli

Kornelius Ginting

Lelaki Biasa

Kalau Anak Jenderal Kenapa?

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sudah jatuh tertimpa tangga, maksud hati terlepas dari jeratan kemacetan ibukota. Yang ada malah berbuntut panjang. Ada-ada saja. Itu tadi sedikit cerita yang sedang ramai dibicarakan, nekat menerobos masuk jalur busway dan arogan terhadap petugas portal.

Saya melihatnya dari sisi yang sedikit berbeda, mengapa fenomenaseperti ini muncul? Pastinya tidak hanya kali ini saja, sudah banyak beberapa kisah dibelakang. Tentunya kedepan akan muncul lagi. Mungkin sudah menjadi budaya di Negara kita, bahwa kita harus bangga dengan apa yang kita miliki, bangga dengan latar belakang kita, bangga dengan apa yang kita kendarai, bahkan bangga dengan hal-hal yang seharusnya tidak kita banggakan. Menerobos lampu merah kok bangga, masuk jalur Transjakarta kok bangga.

Semakin tidak tertangkap, semakin membuat seseorang berada diatas angin. Tidak hanya dikalangan Angkatan saja kita bisa seenaknya melakukan pelanggaran-pelanggaran (sebagian berkilah itu hanya oknum)( Oknum kok satu bis). Kalangan berandal-berandalan jalanan pun sudah terbiasa. “sebut saja nama bang komar, kalau kamu ditilang didaerah situ“sering kali saya mendengar percakapan itu diantara tetangga.

Hal tadi diatas berlaku untuk kalangan bawah, prajurit-prajurit yang masih“panas“. Bisa dibayangkan jika seseorang jenderal atau siapapun yang memiliki kekuasaan diatas sana. Ternyata kekuasaan yang mereka miliki disalahgunakan. Bukan oleh mereka tetapi lingkungan mereka. Aneh bukan?

Hal ini juga dilatarbelakangi budaya kita yang memandang seseorang berdasarkan latar belakangnya, „dia kan hebat karena bapaknya Jenderal“ atau saudaranya Jenderal. Sedikit sekali dari kita yang merasa terbebani dengan predikat „Anak Jenderal“. Waduh, bapak saya Jenderal, sebaiknya saya menjaga sikap. Yang biasanya terjadi dilapangan adalah „ bapak kopral, anaknya bertingkah jenderal“ selah-olah ia yang punya negara ini. Terlebih mereka memiliki sebuah komunitas yang loyal dan solid. Bisa terbayangkan kan hasil akhinrnya.

Nah parahnya lagi, banyak orang-orang yang meniru atribut dan tingkah laku mereka. Rambut dibuat cepak, badan dibuat tegap, seolah-olah mereka angkatan. Lalu masuk kemana-mana, hanya berkata „saya Anggota“. Saya yakin sedikit sekali orang yang bakal menegur atau meminta kejelasan.

Bukan begitu.. udah ah.. udah malam.. besok lagi..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline