Sehari sebelum hari Kartini, tepatnya Sabtu 20 April 2024, saya bersama istri dan kedua anak kami jalan-jalan menikmati pemandangan. Kami membiasakan diri, di weekend untuk Quality Time bersama keluarga. Kami menggunakan kendaraan Jupiter MX King 150. Kurangnya BBM, membuat kami akhirnya ke POM Bensin untuk mengisi BBM terlebih dahulu. Sesudah itu, kami memulai perjalanan menuju ke lokasi yang kami telah agendakan.
Lokasi itu adalah Perkebunan Karet Sembir, Kelurahan Bugel, Kecamatan Sidorejo, kota Salatiga. Pada bulan Maret 2024, kami pun pernah ke sana. Dan itu ada pertama kali kami melihat secara langsung Perkebunan karet. Selama ini hanya melalui media atau pembelajaran sewaktu sekolah.
Di hari Kartini ini, Minggu, 21 April 2024, saya ingin membagikan satu cerita tentang seorang Wanita Hebat yang secara tidak kebetulan kami saksikan secara langsung di Perkebunan Karet tersebut.
Cerita bermula ketika kami mulai menelusuri pinggiran perkebunan karet, kami melihat beberapa pekerja perkebunan karet lewat, ada yang berkendaraan motor dengan membawa hasil panen karet, ada pula yang sedang panen karet dan ada yang mengantar panen karet di tempat penampungan terdekat, di pinggir jalan. Karena lokasi itu cukup panjang dan luas, jadi kami memilih untuk putar balik di lokasi yang sama sembari menikmati udara yang segar dan dingin serta indahnya perkebunan karet yang tertata rapih.
Kami tidak cukup melihat dari jalan raya saja, tapi kami hendak melihat dan bersentuhan secara langsung terhadap pohon karetnya. Kami turun dari motor dan kami memasuki area perkebunan karet, karena persis di pinggir jalan. Kami memegang langsung seperti apa karet itu, ketika mengalir dari pohonnya, ketika tertampung, ketika padat, bahkan bisa membedakan antara karet yang sudah diambil atau belum. Tanda karet yang belum diambil adalah warnanya sangat putih kental seperti cat putih, sedangkan yang sudah diambil airnya agak bening.
Ketika kami menikmati perkebunan karet itu, tiba-tiba ada seorang ibu dari seberang jalan raya perkebunan karet sedang memikul kayu, seperti foto pertama di atas. Dia adalah Ibu Rudiatung, usia 53 tahun. Suaminya telah meninggal beberapa waktu lalu. Ia mempunyai dua anak. Dahulu, suaminya juga salah satu karyawan di perkebunan karet tersebut. Menurut pengakuan Ibu Rudiatung, perkebunan itu milik PTPN9.
Setiap hari ia mengambil kayu-kayu bakar dari kerbunan karet tersebut dan mengumpulkan di rumahnya. Jarak rumah ke perkeunan karet adalah 1 km. Kayu-kayu itu adalah ranting-ranting yang telah dibersihkan dan tidak digunakan lagi oleh pihak perusahaan, selain sebagai kayu bakar atau sampah sekaligus pupuk.Bahkan siapun boleh mengambil kayu bakar tersebut.
Menurut pengakuan Ibu Rudiatung, satu ikat kayu bakar yang sedang seharga Rp. 10.000,- sedangkan yang lebih besar ikatannya seharga Rp. 12.000,-. Selalu ada orang yang membeli, katanya beliau. Dengan hasil itu, ia dapat membeli kebutuhan sehari-hari. Kami sungguh terinspirasi dengan kerja keras beliau.