"Korupsi lagi, OTT lagi, Kepala Daerah lagi.
Di awal tahun ini, KPK baru saja melakukan OTT terhadap Bupati Mesuji, Khamami, bersama 8 orang lainnya berkaitan dengan dugaan realisasi commitment fee sejumlah proyek infrastruktur di Kabupaten Mesuji, Rabu (23/1/2019). OTT ini merupakan kabar duka terhadap upaya pembenahan birokrasi pemerintahan dengan pejabat atau penyelenggaran negara yang bersih dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kita sungguh prihatin menyaksikan bagaimana OTT kepala daerah besar-besaran bahkan menciptakan rekor OTT terbanyak sepanjang sejarah lembaga anti rasuah terjadi di tahun lalu yakni sekitar 22 orang kepala daerah baik gubernur, bupati, dan walikota dan berharap ada perubahan positif signifikan ditorehan di tahun yang baru ini. Namun kenyataannya, korupsi tidak mengenal tahun baru atau lembaran baru.
Korupsi di Indonesia sudah pada titik "lumrah" terjadi sebagai aktivitas yang kontinuitas alias aktivitas birokrasional sehari-hari. Di era pembangunan infrastruktur seperti sekarang ini, proyek infrastruktur sedang banyak dibangun baik yang dikerjakan langsung pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian PUPR atau delegasi ke daerah. Kita ketahui bahwa infrastruktur selalu berkaitan dengan hajat hidup banyak orang. Mengadakan pembangunan infrastruktur baru atau perbaikan fungsi infrastruktur yang memadai sangat penting untuk menghadirkan pelayanan masyarakat yang lebih optimal.
Namun demikian, infrastrukur menjelma menjadi lahan subur yang dapat menghasilkan uang bernilai fantastis bagi kepala daerah atau pejabat daerah. Daerah yang kecipratan proyek dengan dikendalikan pemimpin daerah yang tidak berintegritas dan tidak mampu menahan diri akan mengambil kesempatan mengisi pundi-pundi uang. Sehingga korupsi infrastrukur sudah barang tentu menggangu aspek pelayanan publik, perbaikan kualitas hidup, bisnis dan investasi.
Dalam buku klasiknya berjudul "Sosiologi Korupsi: Sebuah Perjelajahan dengan Data Kontemporer," Syed Hussein Alatas menuliskan bahwa korupsi disebabkan pada pranata (hukum/keadaan sosialnya) dan manusia. Ia mengutip pendapat Wan An Shih (1021-1086) bahwa penyebab utama korupsi ada dua hal yakni manusia dan hukumnya. Begitu pula, Alatas menyitir pendapat Ibn Khaldun (1332-1406) yang melihat sebab korupsi karena nafsu untuk hidup mewah dalam kelompok yang memerintah. Alatas kemudian menjabarkan sebab-sebab korupsi antara lain ketiadaan atau kelemahan pemimpin dalam posisi kunci untuk memberantas korupsi, kelemahan pengajaran agama dan etika, kolonialisme, kurangnya pendidikan, kemiskinan, struktur pemerintahan, perubahan radikal, dan keadaan masyarakat.
Dalam konteks hari ini, pada fase tertentu, banyak oknum kepala daerah yang korupsi tidak memedulikan mengenai pentingnya sebuah sistem pemerintahan yang kuat dan bersih. Intinya, karena banyak kepala daerah tidak mempunyai kesadaran dan kemauan untuk berubah, pun tidak punya visi perubahan menyejahterakan rakyat. Selain itu, memang karena perangkat hukum lemah, pengawasan tidak ketat dan kepedulian mayoritas rakyat belum bersikap anti korupsi.
Ditinjau dari sisi, struktur pemerintahan di daerah pun telah mengalami perbaikan yang berarti dari sisi kesejahteraan. Para kepala daerah telah mendapatkan gaji yang cukup besar, tunjangan dan fasilitas mewah untuk menunjang kinerja mereka. Namun ternyata korupsi yang dilakukan kepala daerah tanpa ampun. Artinya bahwa persoalan terbesar kita adalah soal manusia, sedangkan mengenai tata aturan ialah perangkat tambahan sebagai kontrol. Hal itu berarti ia penting pula.
Lantas kemudian kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa korupsi berdampak terhadap krisis integritas pejabat, dekadensi moral, dan ketidakpercayaan rakyat terhadap pemimpinnya. Konsekuensi yang harus ditanggung kemudian ialah banyak keputusan pejabat salah karena melanggar peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Kebijakan pejabat yang ditetapkan banyak koruptif.