Lombok Mirah Sasak Adi (Kejujuran adalah permata kenyataan yang baik dan utama) -Kitab Negara Kertagama- Setelah memperkenalkan gerakan Baraka Nusantara (lihat cerita 1) yang mendorong pertanian berkelanjutan dan kesejahteraan bersama melalui Kopi Pahlawan (lihat cerita 2) dan Rumah Belajar Sankabira (lihat cerita 3), dalam tulisan kali ini kami akan menceritakan secara khusus keindahan alam dan budaya di tempat kami mengabdi, yaitu tanah Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Lombok: Warisan Majapahit
Menurut sejarah, kata Lombok sudah tertulis dalam Kitab Negarakertagama yang dalam Bahasa Kawi berarti lurus atau jujur. Kitab Negarakertagama sendiri merupakan kitab yang ditulis pada tahun 1365 oleh Mpu Prapanca mengenai masa kejayaan Kerajaan Majapahit pada pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. Secara literal Negara Kertagama berarti negara dengan tradisi yang suci, menunjukan kebanggaan masyarakat lalu di bawah Kerajaan Majapahit terhadap pemerintahan saat itu. Jika ditelusuri asal-muasal orang Lombok, mereka diyakini berasal dari Jawa, buktinya antara lain adalah aksara Suku Sasak yang mereka sebut dengan nama Jejawan, yakni aksara Jawa yang diserap dan dilengkapi oleh kesusastraan Sasak. Selain itu, berdasarkan penelitian sejarah, Kitab Negarakertagama adalah salah satu rampasan di istana Cakranagara di Lombok pada zaman penjajahan Belanda saat het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL) membakar istana tersebut. Di timur pulau Lombok, terdapat Gunung Rinjani yang merupakan gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia. Rinjani nggak sendiri, di area itu terdapat gugusan gunung lainnya yakni Anak Dara, Pergasingan, Selong, dan Telaga. Gugusan gunung-gunung ini mengelilingi sebuah lembah yang subur, yang di dalamnya terdapat kehidupan masyarakat Sasak, yang diawali dari tujuh keluarga. Gunung Rinjani, Danau Segara Anak, dan Gunung Barujadi (sumber: milik penulis) Lembah ini bernama Sembalun berasal dari kata sembah ulun, yang berarti menyembah yang lebih tinggi, dan di tempat inilah, Baraka Nusantara merangkai dan menanam mimpi bersama masyarakat lokal untuk maju bersama. Bertumpu pada filosofi hidup masyarakat setempat, yakni hidup bagai Lombok buaq, berprilaku sasak sankabira, yang berarti hidup lurus (jujur) bagai pohon pinang, berperilaku bersatu saling tolong menolong.
Sembalun yang Melegenda: Ikatan Manusia, Tuhan, dan Alam
Keindahan Sembalun nggak hanya tersurat dari indahnya jajaran pegunungan, sawah yang membentang, sungai yang membelah, atau kicauan burung-burung yang kami rasakan saat di sana. Di balik itu semua, lembah ini juga menyimpan keindahan yang tersirat, yakni kearifan lokal yang kaya dan dikemas oleh para leluhur dalam bentuk legenda, tarian, musik, dan berbagai ritual masyarakat yang mengandung nilai-nilai untuk menjaga hubungan antar manusia dan kelestarian alam. Di Gunung Rinjani, Bunga Sandar Nyawa menjadi salah satu contoh warisan pelestarian alam yang masih terjaga. Bunga ini sangat indah dan dipercaya menjadi bunga pilihan Dewi Anjani untuk menghiasi kerajaan gaibnya di Gunung Rinjani. Menurut kepercayaan masyarakat, bunga ini abadi dan tak pernah layu, menggoda tapi mengancam nyawa, karena siapapun yang memetiknya, ia harus mempertaruhkan nyawanya kepada kerajaan gaib dan pulang tinggal nama. Keyakinan ini terjaga dari generasi ke generasi, begitulah cara mereka melestarikan alamnya, sehingga Bunga Sandar Nyawa masih tetap lestari dalam habitatnya hingga saat ini. Orang umum mungkin lebih mengenal Bunga Sandar Nyawa ini dengan nama bunga Edelweiss.
Bunga Sandar Nyawa di Gunung Rinjani (sumber: milik penulis) Sejak dulu, Sembalun merupakan tempat yang sakral, tempat bagi para raja, patih*, maupun masyarakat bersemedi menjalin hubungan dengan Tuhan untuk menemukan jalan hidup. Salah satu situs yang membuktikannya adalah tempat pertapaan Mahapatih Gajah Mada di Desa Sembalun. Selain itu, adanya Taman Narmada yang terletak di Mataram, merupakan replika suasana Rinjani dan Danau Segara Anak yang dibangun oleh Raja Anak Agung Gede Karang Asem setelah ia menginjak usia senja karena nggak bisa lagi bertapa di Gunung Rinjani.
Taman Narmada (sumber: milik penulis) Dalam hubungan antar sesama manusia, Tuhan, dan jagat raya, Sembalun memiliki warisan nilai yang tercermin dari ritual adatnya, salah satunya adalah upacara Ngayuh Ayu yang sejak 635 tahun silam telah menjadi ajang silaturahmi masyarakat dan raja-raja nusantara. Upacara tiga tahunan ini masih dilaksanakan hingga saat ini pada 5, 15, dan 25 bulan Rajab. Ini tertulis dalam naskah Jatiswara ajaran Raden Harya Pati dan Raden Mangujaya yang merupakan nenek moyang mereka. Selain wujud rasa syukur kepada Tuhan, waktu tersebut merupakan interval kesempatan petani mengevaluasi dan memperkirakan produktivitas lahan, ketersediaan air, cuaca, serangan hama dan penyakit pada masa tanam berikutnya. Sejak dulu kala, mereka juga memiliki metode penyimpanan pangan agar masyarakatnya nggak ada yang kelaparan dalam jangka waktu yang panjang.
Upacara tradisional di Sembalun (sumber: thelombokguide.com) Ilmu pengetahuan masyarakat adat merupakan manifestasi hubungan timbal balik manusia, Tuhan, dan alam semesta. Mereka belajar dari pengalaman beratus tahun secara turun-temurun, teruji, dan terbukti bahwa manusia dapat hidup damai jika menjaga alam.
Sembalun Riwayatmu Kini
Globalisasi memang bagai pisau bermata dua, di satu sisi bermanfaat, di sisi lain dapat merusak. Arus globalisasi telah menggeser pola bercocok tanam masyarakat Sembalun, dari masyarakat agraris yang dulunya bertani secara organik atas nama alam, dan kini para petani sangat bergantung pada bibit-bibit impor dan pupuk-pupuk kimia, atas nama uang dan permintaan pasar. Sejarah telah menggambarkan betapa para leluhur menjunjung tinggi nilai-nilai pelestarian lingkungan, namun saat ini banyak tanah yang jenuh akibat pemakaian pupuk kimia yang berlebihan, sampah bertebaran di mana-mana, dan dampaknya – lingkungan nggak sehat dan tanah nggak dapat berproduksi sesuai dengan harapan mereka. Saat ini, bertani dan mengembangkan potensi lokal kurang diminati oleh generasi muda. Bekerja di kota atau menjadi tenaga kerja di luar negeri lebih menjadi pilihan yang menjanjikan bagi mereka. Sistem pertanian yang kurang menguntungkan berjalan terus-menerus, sangat menyulitkan, dan memiskinkan. Terlebih diperparah dengan minimnya peran pemerintah dalam membenahi sistem yang merugikan ini. Ritual adat masih dilangsungkan hingga saat ini, namun ada esensi yang memudar, yakni penghayatan dan pengamalan akan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak lagi tercermin dari kondisi masyarakat dan lingkungan saat ini. Hal ini juga dipengaruhi oleh lemahnya masyarakat dalam menyaring hal-hal baru yang dapat memberi pengaruh buruk pada mereka.
Kiri: Rendahnya minat pemuda melestarikan kesenian gamelan Lombok Kanan: Kondisi sampah di kebun bambu yang seharusnya indah (sumber: milik penulis) Di era modern saat ini, tentunya pola hidup masyarakat harus disesuaikan dengan keadaan dan tuntutan zaman. Teknologi, keterbukaan pasar, dan keadaan sosial saat ini merubah prioritas dan gaya hidup masyarakat di Sembalun. Namun, banyak yang bisa dipelajari dari sistem kebudayaan dan kepercayaan yang terbentuk ratusan tahun lalu. Baraka Nusantara bermimpi untuk mengembalikan nilai moral, budaya, dan pola hidup yang mengedepankan keselarasan antara manusia dan alam agar masyarakat Sembalun siap untuk menghadapi globalisasi dan kemajuan teknologi secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. *Perdana menteri pada kerajaan Nusantara kuno Ditulis oleh: Reman Murandi & Maryam Rodja Email: reman.murandi@gmail.com atau maryam.rodja@gmail.com Facebook: BarakaNusantara
Shortlink: (click to copy)
Related posts:
- Rumah Belajar Sankabira di Pulau Lombok
- Baraka Nusantara: Mengangkat Kopi Lombok
- Kopi Lombok
- Pekatnya Kopi Pahlawan yang Sangat Memikat
- Kisah-kisah yang Mengisi Sebuah Kota
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H