Di Indonesia, perkawinan beda agama memang masih dilarang, tapi masih lebih mungkin terjadi dibandingkan dengan pernikahan sejenis. Walaupun begitu, ternyata Indonesia masih lebih dapat menoleransi kaum gay dibanding dengan Rusia. Sebenarnya, homophobia ini bukan hal yang baru, sudah ada sejak Abad 8 Sebelum Masehi. Dan sayangnya, pemikiran manusia belum juga bisa maju untuk menerima perbedaan, padahal jaman sudah sedemikian majunya. Menarik untuk diingat, bahwa sebenarnya homophobia itu awalnya adalah ketakutan kaum straight bukan terhadap kaum gay, tapi pada anggapan orang lain bahwa mereka adalah gay… Rusia memang terhitung sebagai negara barat, tapi sebagai sebuah negara komunis tentunya kebebasan rakyatnya juga nggak sebesar kebebasan di negara-negara non-komunis. Hal ini termasuk kebebasan para penduduknya untuk memilih orientasi seksual mereka. Orang-orang Rusia hingga hari ini masih dilarang untuk mempunyai hubungan sejenis, dan pada bulan Juni 2013 ini, Presiden Rusia, Vladimir Putin, menandatangani hukum yang menyatakan bahwa semua orang yang mempunyai hubungan sejenis, terlibat dalam komunitas LGBT, mengadakan acara yang berhubungan dengan gay pride, atau bahkan menyama-nyamakan hubungan heteroseksual dengan homoseksual. Hukumannya berupa denda sebesar $31.000!
Hukum baru ini dibuat oleh Putin yang anehnya juga mengatakan bahwa Pytor Tchaikovsky, komposer asal Rusia yang sangat terkenal itu, adalah bukti bahwa Rusia tidak mendiskriminasi kaum gay, meskipun Tchaikovsky adalah penyuka hubungan sejenis. Protes terhadap Putin sudah dilakukan oleh para kelompok gay rights dengan memboikot 2013 Winter Olympic Games yang akan datang di Sochi, Rusia. Amnesty International bahkan sudah menghubungi para pemimpin G20 di St. Petersburg untuk mengutuk hukum yang mendiskriminasi kaum gay itu. Tindakan Putin ini tidak hanya mengundang protes dari para politikus dan negarawan dari negara lain, tapi juga para seniman. Seorang ilustrator dari Kanada, Anna Goodson, mengorganisir sebuah proyek yang diberi nama “Art Speaks Louder Than Words” dan mendapat respon yang luar biasa. Mereka ingin menunjukkan pada dunia bahwa para ilustrator tidak mendukung diskriminasi dan kekerasan macam apapun, termasuk agama, ras, dan orientasi seksual. Para ilustrator ini juga berharap bahwa karya mereka akan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk dihuni, dan penduduknya juga makin mengerti apa itu toleransi. Mereka mengubah kemarahan menjadi inspirasi dalam bentuk buku, album, dan poster. Sebenarnya memang pilihan pribadi itu tidak perlu campur tangan pemerintah ya? Toh, semua orang juga berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Menurutmu sendiri bagaimana? Website: agoodson.com
Shortlink: (click to copy)
Related posts:
- Intepretasi Para Ilustrator Tentang Gravity
- 8 Perempuan Di Balik Para Seniman Legendaris
- Semangat Kemerdekaan Para Seniman
- Soc-Real: Aliran Seni Negara Komunis, Lintasme
- Kisah Sedih Seniman Kathe Kollwitz
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H