Nampaknya, Sinetron (sinema elektronik) yang tumbuh di akhir 1980-an, belum puas memberi kenikmatan semu dan menyesakkan televisi nasional. Dengan menggeser kartun-kartun pagi di hari Minggu, mereka semakin menggila. Sinetron pada masanya berhasil memengaruhi masyarakat untuk mengurungkan hasrat pergi ke bioskop. Kehadiran sinetron, nggak bisa dimungkiri, merupakan akibat dari meluncurnya stasiun televisi nasional. Pada kalanya, TVRI begitu memikat perhatian penonton Indonesia, bahkan, sutradara Teguh Karya dan Slamet Rahardjo pun ikut turun tangan dari layar perak menuju layar kaca. Masyarakat televisi merupakan puncak krisis perfilman Indonesia, ketika stasiun televisi swasta nasional ikut bertebaran. Semenjak 1989, dunia layar kaca menjadi hiburan massal yang penuh warna, beriringan dengan berkembangnya CD, VCD dan DVD. Diskusi Film Badai Pasti Berlalu oleh CInema Inclusive (sumber: penulis) Pada beberapa bulan lalu, tepatnya tanggal 14 November 2014, Cinema Inclusive mengajak kita semua — khususnya mahasiswa UI– untuk kembali peka terhadap kondisi film di Indonesia, sekaligus mengingat puncak keemasan perfilman kita. Pemutaran dan diskusi Film Badai Pasti Berlalu pun menjadi tema utama pada hari itu. Film dengan durasi yang kurang lebih 100 menit itu nyatanya kurang berhasil menarik perhatian para kalangan muda. Penonton pada siang itu nggak terlalu banyak, kursi yang tersedia masih banyak nggak terduduki, dan kejemuan dalam ruangan sukses mengalihkan mata penonton dari proyektor menuju gadget-nya masing-masing.
Poster film Badai Pasti Berlalu (sumber: penulis) Mengenang sedikit tentang Badai Pasti Berlalu, mulanya adalah cerita bersambung pada harian Kompas dan memiliki banyak pembaca, sehingga kisah percintaan Siska dan Leo tersebut diangkat menjadi sebuah novel oleh penulisnya sendiri, yaitu Marga T. Di masanya, yakni era 70-an, Badai Pasti Berlalu telah berhasil mengemas tiga pilar seni menjadi suatu pencapaian yang menarik perhatian di tanah air. Konon menurut berita.i-y-i.com, novel tersebut laku pada cetakan pertama dengan total penjualan 24 ribu kopi. Lalu di tahun 1978, hampir semua radio lokal memutar soundtrack Badai Pasti Berlalu, dan film ini merupakan karya pertama Teguh Karya yang paling laku di kalangan saat itu.
Novel Badai Pasti Berlalu karya Marga T (sumber: penulis) Komunitas Cinema Inclusive bukan sekedar memutar film Badai Pasti Berlalu saja, melainkan diskusi ramah bersama Roy Marten, Slamet Raharjo, Eros Djarot, dan almarhum Denny Sakrie. Album yang digarap Eros Djarot dengan Yockie Soeryoprayogo (arranger/ kibor/drum), Chrisye (bas/vokal), Debby Nasution (kibor/ komposer), Berlian Hutauruk (vokal), Keenan Nasution (drum), dan Fariz RM (drum) pada tahun 1977 ini, menurut Denny Sakrie nggak akan lekang oleh jaman.
Gelora 70-an
Ya, tahun 1970 adalah masa keemasan perfilman Indonesia. Di era Orde Baru yang penuh cerita ini, nyatanya justru menjadi pintu terbuka bagi masyarakat untuk menerima masuknya budaya populer dari luar. Program televisi, komik, novel, majalah, dan musik saling mempengaruhi dalam pertumbuhan film saat itu. Majalah Aktuil yang terbit perdana pada 1967 dan merupakan majalah musik pertama di Indonesia, menjadi bacaan wajib bagi kalangan muda serta para pencinta musik. Selama dua hari, 5-6 Desember 1975, Aktuil berhasil menggemparkan Jakarta dengan mengundang Deep Purple. Grup-grup musik lokal 1970-an juga mengambil andil besar dalam buku sejarah musik Indonesia. AKA, Giant Step, Harry Roesli, The Rollies, Super Kid, Freedom of Rhapsodia, God Bless, D’Lyod, dan Koes Plus adalah beberapa nada dari banyaknya grup musik saat itu. Sementara itu, pemerintahan Soeharto dengan cerdik menggunakan film sebagai alat pencuci otak. Film Pengkhianatan G30S/PKI menjadi tontonan di televisi lokal yang diputar pada 30 September malam tiap tahunnya. Guru-guru di sekolah pun akan memintai murid-muridnya untuk menulis resensi film tersebut demi nilai rapor. Lewat film gubahan Arifin C. Noer ini, Soeharto menunjukkan kekejian dari pandangan komunisme dan mengingatkan sejarah kelam bangsa Indonesia. Produktivitas film pada 1970-an benar-benar meledak, dengan 19 judul pada tahun 1970, tahun berikutnya meningkat menjadi 55 judul, dan puncaknya mendapati 124 judul pada tahun 1977. Keemasan ini nggak lepas dari nama-nama sutradara yang populer kala itu. Sebutlah Arifin C. Noer lewat Pemberang (1972), Asrul Sani memegang Desa di Kaki Bukit (1972), Nya Abbas Akup dengan karyanya Bing Slamet Koboi Cengeng (1974), Sjuman Djaya dengan Si Doel Anak Modern (1976), dan Teguh Karya melalui Badai Pasti Berlalu (1977). Juga perlu dicatat aktor dan aktris yang dikenal saat itu, seperti WD Mochtar, Christine Hakim, Slamet Rahardjo, Roy Marten, Rano Karno, dll. Adanya film-film berkualitas pun telah melahirkan kritikus-kritikus film seperti Salim Said dan JB Kristanto.
Hancurnya Apresiasi
Masuknya budaya populer –atau dapat lebih tepat sebagai budaya massa—telah mewarnai era 1970 menjadi jaman yang ramai. Ramai warna akan musik, bacaan, film, mode, dan sebagaiannya. Namun, budaya massa semakin menancapkan cakarnya yang bengis, dan di sinilah kita sekarang. Dalam jalanan bau amis yang akan berujung pada matinya apresiasi. Saya ingin bercerita sedikit tentang budaya populer, yang biasa juga dikenal sebagai folk culture. Budaya populer merupakan budaya rakyat (folk culture) yang lahir dari bawah dan bersifat komunal. Di sisi lain, budaya yang bersifat tertutup dan khusus, terbatas bagi kalangan tertentu, serta kebanyakan orangnya adalah aristokrat merupakan pengertian luas dari budaya tinggi. Era posmodernisme telah mengaburkan batas dan tirai antara budaya pop dan budaya tinggi menjadi sesuatu yang manis namun tragis, yakni budaya massa. Medhy Aginta Hidayat dalam bukunya Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrillard mengatakan, “Budaya massa adalah budaya komersial, produk massal untuk pasar massal.” Lalu pada halaman 107 ia menulis, “budaya massa dipahami sebagai budaya populer yang diproduksi melalui teknik produksi massal dan diproduksi melalui teknik produksi massal dan diproduksi demi keuntungan.” Pada saat menonton film Badai Pasti Berlalu, penonton di sekitar saya — yang hanya beberapa — lebih memilih sibuk dengan senjatanya masing-masing. Entah mengakses Line, Instagram, Path atau apapun itu, yang dalam pengertian Jean Baudrillard menurut saya, adalah permainan simbol dan tanda belaka. Manusia-manusia ini lebih mementingkan penampilan dan gaya dibanding manfaat dan kedalaman. Film se-indie apapun, teater yang paling magis sekalipun, nampaknya tidak bisa menyelamatkan mereka dari budaya selfie. Penonton ini merupakan cerminan manusia posmodern, yang sudah terjangkit virus atomisasi. Kembali saya mengutip Medhy, dalam buku yang sama ia menulis: “Masyarakat massa terdiri dari individu-individu atom seperti ini, individu yang berhubungan dengan individu lain tanpa didasari oleh nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakatnya. Individu atom adalah manusia-manusia yang berhubungan atas dasar kontrak, berjarak dan bersifat sementara ketimbang sebagai ikatan komunal yang erat.” Ia menambahkan: “Keluarga, desa dan gereja yang dahulu pernah memberikan perasaan identitas psikologis, kepastian moral dan sosial, kini digantikan perannya oleh media massa dan oelbagai bentuk budaya populer. Dalam kondisi ketika nggak ada lagi kepastian psikologis, moral dan soal demkian, individu yang diisi oleh budaya massa dan budaya populer, sebagai pemberi pegangan nilai moral dan soal dalam masyarakat.” Pemutaran film Badai Pasti Berlalu di bulan November 2014 itu seingat saya berbarengan dengan mekarnya animo masyarakat akan film Interstellar. Beberapa kawan dan orang yang saya kenal heboh dan ngebet untuk mengantre panjang demi tiket menontonnya. Tentu film ini mendapatkan tempat yang sangat layak bagi penikmat film Indonesia, dan rela mengantre demi menontonnya adalah sisa apresiasi seni yang tersisa sedikit dari pembajakan film secara massal di bangsa ini. Kapan terakhir kali Indonesia mempunyai film yang begitu memikat hati penontonnya? Sejarah mencatatnya di film 5cm dengan dua jutaan penonton dan Habibie dan Ainun dengan empat jutaan penonton, lalu mungkin film The Raid 1 dan 2 yang juga meraih jutaan penonton. Saya tanyakan kembali, lantas siapa yang harus peduli terhadap film-film lama, yang pernah mengambil perhatian orang banyak pada masanya, yang berperan besar dalam perfilman Indonesia sampai saat ini, siapa? Ketika film dalam negeri nggak mampu melahap penonton melebihi film-film impor, tatkala selera masyarakat kehilangan makna lalu menghadirkan genre picisan, kejemuan pada anak muda terhadap film-film lama, dan sinetron yang justru membikin mual tanpa esensi, pada gadget-lah kita mengadu. Tempat di mana kehendak tiap individu disimulasikan menjadi kenyataan dan kecanggihan membungkam apresiasi, menjadikannya mitos serta dongeng-dongeng lampau. Ditulis oleh: Yudhistira Twitter: @dhisdhisdhis Website: dirgantarasastra.wordpress.com
Shortlink: (click to copy)
Related posts:
- Antara Dunia Nyata dan Dunia Mimpi (10.8)
- Surealisme: Antara Dunia Mimpi dan Dunia Nyata (10.4)
- Open Submission: Made In Indonesia (9.9)
- Selera Laki-Laki vs Perempuan Dalam Seni (9.8)
- ARTE Indonesia Arts Festival 2013 (9.7)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H