Lihat ke Halaman Asli

Yudho Sasongko

UN volunteers, Writer, Runner, Mountaineer

Permaafan dan Rumah Pohon Itu

Diperbarui: 22 Mei 2020   04:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dulu, di seberang sana, rumah pohon itu berdiri (dok. pribadi)

Suara takbir berkumandang dengan syahdu dari corong pengeras suara Masjid Kampus Raden Patah Universitas Brawijaya di circa 1998. Beberapa mahasiswa masih terlihat lalu-lalang di jalanan pintu gerbang timur kampus. 

Sejurus pandangan mata ini menyasar seorang pemuda Papua dengan rambut eksentrik gimbalnya yang dibiarkan memanjang sebahu di depan sekretariat Ikatan Mahasiswa Pecinta Alam (Impala) Universitas Brawijaya. Mungkin senasib, seperti diriku yang masih tertahan di sebuah rumah kontrakan, tepat di dekat gerbang timur kampus. 

Semua sudah mudik, pulang ke kampung halaman masing-masing. Sedang diriku tertahan tugas kampus, mengurusi sholat Idulfitri takmir masjid kampus dan sejumlah tugas yang masih terbengkalai pengganti Ujian Tengah Semester (UTS) yang kutinggalkan untuk bersenang-senang di puncak gunung. Hal lumrah tindak indisipliner para mahasiswa abadi yang merupakan aset berharga tersendiri bagi unit aktivitas pecinta alam saat itu. 

Mahasiswa Papua  itu memakai sarung, rambut dikuncir, dengan atasan T-shirt belel khas jersey anak gunung yang saat itu sering keluar masuk pintu kelas perkuliahan karena diusir dosen mata kuliah Kewiraan yang menuntut berpakaian rapi di perkuliahannya.

Mungkin dipandangi, pemuda Papua itu berjalan menuju rumah pohon tepat di depan sekretariat Impala UB. Beberapa spanduk bergantungan di rumah pohon itu. Terbaca beberapa di antaranya, tentang ucapan selamat Idulfitri dan baliho semangat ala Mapala yang salah satunya tentang kisah keberhasilan Impala UB yang berhasil mengibarkan pataka oranye kebesarannya di puncak Cartenz Pyramid Jayawijaya melalui jalur baru di dinding utara vertikal yang terkenal sulitnya pada saat itu.

Aku kenal dia, si Alex, pemberi materi yang handal dalam Ekspedisi Pamalayu misi pemecahan Rekor MURI saat itu. Keesokan harinya setelah salat Idulfitri selesai, kumampir saja ke rumah pohon untuk tradisi halalbihalal. Alex si pemuda Papua adalah seorang muslim yang tak mudik karena aklamasi anggota untuk jaga sekretariat. Pas, menurutnya, karena kantong sedang kering untuk urusan mudik.

Suasana sederhana yang tak lazim dengan tradisi halalbihalal yang penuh dengan sajian cemilan dan kudapan khas Lebaran. Beberapa bungkus tape (bukan tape recorder) singkon yang ranum setengah hancur tergeletak di lantai rumah pohon yang cukup tinggi itu. Bungkusnya yang berupa besek (anyaman bambu) itu dikerubuti penerbang renik yang menandakan bahwa tape singkong itu sudah sangat menarik perhatian untuk disantap. 

Sebagaimana seremonial halalbihalal yang sudah lazim, aku jabat saja tangannya sambil berucap: mohon maaf lahir batin. Begitupun dia, sama redaksinya. Ditambah pemanis ucapan yang populer, minal aidin wal faizin (menjadi orang-orang yang kembali dan menang). Sedang kami berdua masih di rumah pohon, belum kembali (ke kampung halaman).

Sambil menyedot sigaret filter dan mencicip tape singkong yang sudah level fermentasi tingkat dewa itu, dia banyak bercerita tentang kampung halamannya di kaki pegunungan Jayawijaya yang gagah perkasa itu.

Tentang penduduk asli yang mencintai alam dan persahabatan. Sebagaimana mereka mencintai para penempuh rimba dan gunung yang selalu mampu menyesuaikan diri mereka dengan kearifan lokal. Membuang jauh batas-batas dan kelas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline