Sudah saatnya untuk terus memberikan semangat dan dukungan penuh kepada film-film karya anak negeri. Apresiasi terhadap karya anak negeri baik berupa karya sinema layar lebar hingga film pendek (short movie), tentunya akan menjadi pelecut prestasi mereka untuk menghasilkan karya yang lebih baik.
Rekomendasi film tema solidaritas kali ini saya pilihkan sebuah karya anak negeri dalam film pendek (short movie) dengan judul "Seharusnya BEBAS!" Film ini merupakan debutan anakku sebagai scriptwriter (penulis naskah).
Sebagaimana karaktrer dari film pendek yang simpel namun kompleks, "Seharusnya BEBAS!" sukses merangkum cerita dengan kemasan yang menarik dan padat isi.
Film pendek ini ditulis oleh Nikita Istigfara, disutradarai Naufal Prasetya, dengan produser Gigih Muhamad serta digarap oleh Rumah Produksi Adaka Films.
Film yang berkisah tentang solidaritas keluarga dalam meringankan beban penderitaan cukup menggelitik dengan keunikan budaya lokal yaitu menggunakan dialog berbahasa Jawa yang dilengkapi dengan subtitle-nya.
Tentunya, pemilihan dialog Bahasa jawa mampu memberikan nilai lebih dengan tujuan mengangkat kearifan dan budaya lokal. Tak sia-sia perjuangan mereka para sineas muda menggarap film ini hingga memperoleh penghargaan lokal dalam Malang Film Festival untuk kategori film isu sosial terbaik.
Sebagai wahana penyampaian ide dan kritik sosial, film pendek (short movie) memang cukup efektif mengemas isu sosial yang kerap terjadi di masyarakat dalam lintas adegan pendek, padat dan sarat makna.
"Seharunya BEBAS!" berkisah tentang Jiwa korsa dan solidaritas keluarga sebagai wujud rasa hormat, kesetiaan, kesadaran, dan semangat kebersamaan dalam menghadapi masalah. Solidaritas anggota keluarga merupakan hal yang sangat penting dalam membina keutuhan rumah tangga.
Dikisahkan Liana (Geofita Syajarotul) yang tak kesampaian kuliah Sastra Indonesia itu dengan semangat baja terus mengasa kemampuan menulis puisinya hingga sukses memenangkan festival puisi dengan hadiah uang tunai yang cukup lumayan.
Sedang sang bapak (Anang Umar) dihantui trauma tentang perkuliahan. Dengan biaya mahal yang pernah ia keluarkan, nyatanya hanya membuat anak satunya lagi, si sulung, Dina (Ismaya Priska) jadi stres dan gila.
Dina yang gila telah lama dipasung di rumah. Dina gagal mencapai cita-citanya. Dengan bukti nyata di depan mata, sang bapak makin skeptis terhadap tujuan perkuliahan yang ujung-ujungnya jadi pengangguran, stres dan gila. Bahkan, sang bapak sempat memertanyakan keadilan negara.