Ayat-ayat pilihan Ramadan bagian-2
Asy Syu'araa Ayat 102
" Maka sekiranya kita dapat kembali sekali lagi (ke dunia) niscaya kami menjadi orang-orang yang beriman" (Asy Syu'araa 102)
Kata "anu" mengalami penyempitan makna (peyorasi) yang ekstrim dan konotatif banget. Semisal, "Anu nya si Anu." Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata "anu" dideskripsikan sebagai nomina (kata benda) yang mempunyai arti sesuatu yang tidak disebutkan namanya (orang, benda, dan sebagainya).
Makna leksikal "anu" berdasar pada KBBI di atas mengarah pada hal variabel atau variasi bebas. Artinya tidak hanya khusus menjurus pada makna peyorasinya, semisal menunjuk pada alat genital.
Hingga detik ini KBBI belum memberikan keterangan bahwa kata "anu" adalah serapan bahasa Arab," maka akan kita klarifikasi bahwa kata "anu" adalah kata serapan (loan word) dari bahasa Arab dari kata "hanu".
Kata "hanu" pernah disebut Rasulullah Saw dalam sebuah hadis :
Barang siapa bangga menisbatkan/menjuluki dirinya dengan penisbatan Jahiliah, maka gigitkanlah ia pada "anunya" bapaknya. Dan janganlah kalian memanggil dengan julukan itu.
Dalam matan hadis tersebut kata "anu" diwakili oleh kata "hanu" yang biasa disebut sebagai "kinayah" (sebutan sesuatu yang jelek).
Kata "hanu" merupakan asma ul sitta yang jarang digunakan karena keaslian logatnya. Dalam nahwu asma ul sitta itu antara lain lafadz abun, akhun,hamun, fu, dzu, dan hanu.
Kata "hanu" adalah redaksi "kesopanan" lisan Rasulullah saw untuk mengganti kata "rahim ibu dan segala salurannya". Jika anda masih ingat dengan klausa pengandaian (if clause), maka lafadz "lauw" pada Asy Syuu'araa' ayat 102 ini mewakili kaidah if clause (klausa pengandaian).
Lafadz "Lauw" yang sering digunakan al Qur'an sebagai huruf syarat pada zaman madhi (masa telah lalu). Dan jarang sebagai syarat pada zaman istiqbal (masa akan datang), artinya tingkat pengandaiannya sangat tinggi (if clause tingkat tiga) yang artinya "impossible" banget.