Mematahkan Stigma
Setelah delapan belas tahun mengarungi rumah tangga bersama, Andika (45) dan Risma (39) memilih untuk mengakhiri hubungan pernikahan mereka. Hubungan mereka yang terus panas dengan pertengkaran sejak Andika ketahuan selingkuh dan tidak mau memutuskan hubungan dengan selingkuhannya, membuat kehidupan pernikahan mereka tak lagi sehat.
Awalnya, ketiga anak mereka yang berusia 16, 14, dan 10 tahun masih menjadi alasan utama Risma untuk bertahan dalam pernikahan. Tapi setelah enam bulan mencoba, rasa dikhianati yang mendalam di hatinya, keengganan Andhika untuk bertobat dan
"berobat" pada Konselor Pernikahan untuk menyelesaikan perselingkuhannya secara tuntas, membuat Risma tak bisa lagi bersama Andika. Keputusan Andika dan Risma sudah bulat untuk bercerai. Gugatan ceraipun sudah Risma kirimkan ke Pengadilan Agama, tinggal menunggu persidangan berlangsung.
Meski hubungan Risma dan Andika panas, tapi keduanya sama-sama satu pikiran soal anak. Mereka tidak ingin ketiga anaknya yang beranjak dewasa terbawa masalah perceraian orang tuanya. Risma tak ingin anak-anaknya mendapat cap anak-anak broken homeyang bermasalah. Mereka berusaha meminimalisir dampak negatif perceraian mereka pada anak-anaknya.
Ada stigma di masyarakat bahwa anak-anak dari keluarga broken home (orang tuanya bercerai) tumbuh menjadi anak-anak yang bermasalah, terlibat pergaulan yang salah, narkoba, dan pornografi. Padahal ini adalah stigma yang keliru. Tidak selamanya anak yang dari keluarga yang bercerai akan tumbuh sebagai anak bermasalah.
Selama sembilan tahun menjadi Konselor Pernikahan, dan menangani cukup banyak kasus Konseling Pra-Perceraian (agar anak dan orang tua siap menghadapi perceraian) saya menemui banyak anak yang bisa melewati fase gelap bubarnya pernikahan orang tua mereka dengan daya adaptasi yang cukup baik dan akhirnya tumbuh menjadi anak yang berprestasi dan sukses dalam kehidupannya, yang tentu saja karena adanya proses pendampingan secara profesional oleh Konselor kepercayaan keluarga. Intinya adalah bagaimana anak dapat siap menghadapi menghadapi perceraian orang tuanya.
Mempersiapkan Anak Melewati Fase Gelap Perceraian
Ketika pasangan telah membuat keputusan untuk bercerai, maka mereka sebaiknya berkonsultasi pada Konselor Profesional untuk membahas mengenai proses perceraian, secara detail dari A hingga Z. Bercerai tanpa persiapan hanya akan memperburuk situasi dan kondisi, baik kondisi orang tua dan terutama sekali kondisi anak, baik secara mental maupun emosional.
Perceraian sudah pasti akan menimbulkan dampak negatif pada anak. Tapi dampak tersebut bisa besar atau kecil. Nah, tujuan dari konseling adalah agar dampak negatif perceraian bisa ditekan seminimal mungki dan juga untuk mengelola begitu banyak emosi negatif yang timbul karena adanya perceraian, adanya kemarahan, perasaan terluka, "terkhianati" oleh orang tua yang harusnya ada disisi mereka, sedih berkepanjangan, rasa ketakutan dan putus asa. Hal-hal seperti ini, jika tidak hilang bisa menjadi masalah bagi anak dan jika membekaspun akan memberikan kontribusi buruk pada masa depan mereka.
Ketika anak-anak tidak dalam keadaan siap untuk melewati masa-masa perceraian orang tuanya, ia bisa saja terjerumus dalam pergaulan yang buruk. Rasa takut, kesepian, ditinggalkan, dan tidak tahu harus ke mana mencari sandaran karena ketidakhadiran orang tua, akan menempatkan anak seperti layangan lepas. Kondisi yang memungkinkan anak mencari sendiri peer group dan pelariannya. Dan sangat mungkin jatuh di peer group yang "salah" sehingga makin memperunyam kondisi yang ada .
Untuk mengantisipasi hal tersebut orang tua yang bercerai perlu memberdayai anak dengan proses pendampingan yang tepat, dilandasi dengan pengetahuan psikologis yang cukup, sehingga anak dapat dimampukan untuk menghadapi proses perceraian orang tuanya dengan cukup baik.