Irawan (45) dan Mei (43) adalah pasangan yang berhasil. Karier keduanya sukses. Irawan seorang General Manager di perusahan lokal besar. Sedangkan Mei, tiga tahun lalu diangkat sebagai Country Director wilayah Asia di sebuah perusahaan multinasional. Jabatan Mei membuat pendapatan Mei tiga kali lebih besar daripada Irawan.
Butuh diskusi
Keuangan keluarga mereka pun semakin kuat. Mei berusaha mendapatkan semua yang terbaik untuk keluarganya. Dari kualitas makanan dan kebutuhan sehari-hari, sekolah internasional untuk anak-anak yang uang pangkalnya seharga sebuah mobil, asisten lengkap, suster, asisten rumah tangga, sopir dan tentu saja city car terbaik disediakan khusus untuk anak-anak, les di berbagai tempat, hingga liburan di setiap ada kesempatan. Intinya, hidup mereka tak pernah kekurangan, bahkan cenderung berlebihan.
"Wah, bahagianya mereka," pikir banyak orang. Hmm, benarkah? Irawan, Mei, dan kedua remaja tanggungnya memang tampak bahagia. Mereka tak pernah tampak kesusahan. Pendapatan Mei dan Irawan memang bisa membuat keluarga mereka "aman" untuk waktu yang lama. Bahkan pendapatan Mei saja sudah cukup membuat mereka tenang.
Sayangnya, di balik semua itu, Irawan ternyata harus menyembunyikan perasaannya. Ternyata, dalam mengambi keputusan untuk keluarga, Mei dan Irawan jarang sekali berdiskusi. Misalnya, Mei bisa tiba-tiba memutuskan long weekend besok akan mengajak anak-anak liburan ke Perth, bahkan sudah membeli tiket untuk berempat. Padahal, Irawan sudah punya rencana mengajak anak-anak menengok neneknya di Yogya, karena Mei selama ini tak pernah bilang apapun soal ke Perth. Meski kecewa, akhirnya ia membatalkan janji ke ibunya.
Atau, ketika si sulung lulus SMP, Mei ternyata sudah mendaftarkannya di sekolah internasional yang lokasinya jauh dari rumah. Lagi-lagi Irawan tak pernah diajak diskusi soal ini. Irawan pun terpaksa mengalah. Rencananya menyekolahkan si sulung di SMA negeri terbaik di Jakarta yang lokasinya sangat dekat rumah pun, terpaksa ia batalkan.
Irawan tahu kalau Mei berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarganya, apalagi penghasilan Mei memang mampu untuk melakukan itu semua. Namun Irawan senantiasa memendam kekecewaan demi kekecewaan. Banyak hal keputusan istri, yang sebenarnya tidak disetujuinya. Pemilihan sekolah misalnya. Irawan selalu bercita-cita anaknya bisa bersekolah di tempat di mana dia dulu juga bersekolah, sekolah yang bisa membuat anak mereka bergaul dengan berbagai kalangan, bukan sekolah internasional yang menurut Irawan hanya akan membuat anak mereka tembah bergaya hidup borjuis.
Kekecewaan Irawan sangat beralasan. Ia merasa kehadirannya sebagai suami sudah tak dibutuhkan dan tidak dianggap. Sejak pomosi, Mei jarang sekali mendiskusikan masalah keluarga yang butuh keputusan keuangan. Seperti memilih sekolah, membeli mobil, hingga liburan keluarga. Padahal itu bukan masalah kecil. Meskipun itu menggunakan uang Mei. Karena gaji Irawan pun sudah lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Mei dengan ambisinya ingin memberi yang terbaik bagi keluarga, justru menjadi hal yang membuat Irawan gerah karena tidak selalu sejalan dengan pandangan Irawan.
Meski masing-masing suami istri mempunyai opini dan pendapatan sendiri, sebuah keputusan dalam keluarga sudah seharusnya diambil berdasarkan keputusan bersama antara suami istri, terlepas dari siapakah yang membiayai.
Untuk mendapatkan keputusan bersama, tentu dibutuhkan pembicaraan. Bukan sekadar obrolan sepintas, tapi diskusi yang mendalam. Karena banyak hal dalam keluarga, bukan sekadar keputusan pemakaian keuangan, tapi menyangkut hal yang lebih dalam. Seperti value dalam sistem pendidikan formal anak, value dalam menikmati liburan yang bermakna untuk membangun kedekatan keluarga, value dalam mendidik kemandirian anak dalam kaitan adanya asisten rumah tangga yang senantiasa membantu dan lain sebagainya.
Tak dibutuhkan
Bukan sekadar merasa tak diajak diskusi namun seorang suami yang istrinya terlalu mandiri akan merasa tak dibutuhkan lagi. Mei misalnya. Ia kini bisa memanjakan dirinya sendiri dengan membeli barang-barang indah dan mewah, yang biasanya didapat istri dari suaminya. Mungkin Mei berpikir, "Daripada merepotkan suami, lebih baik aku beli sendiri, toh uangnya ada, kan?" Hal yang dianggap baik oleh Mei justru membuat Irawan merasa "gerah" karena merasa tidak dibutuhkan, Irawan justru sangat merindukan sosok Mei yang semasa pacaran, suka bermanja-manja kepadanya jika membutuhkan sesuatu.
Istri yang juga terbiasa tegas dan berwibawa di kantor karena jabatannya sebagai pemimpin, tanpa sadar mungkin akan membawa sikapnya itu hingga ke rumah. Ia jadi jarang bermanja-manja, bahkan yang biasanya ngobrol santai sebelum tidur pun, sudah tak pernah dilakukan. Kalau tidak ada yang urgent dibicarakan, istri juga jarang bicara dengan suami. Pulang pun kerap sudah malam dengan energi yang sudah tersita dengan tuntutan pekerjaan yang tinggi. Sehingga akhirnya hanya fisik mereka bersama ketika malam hari tapi tanpa ada intimasi sama sekali.