Lihat ke Halaman Asli

Elly Nagasaputra MK CHt

Konselor Pernikahan dan Keluarga

Konseling perkawinan : Mengapa sulit menjadi diri sendiri dalam pernikahan?

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Konseling Pernikahan Konselor Profesional yang menangani konseling diri, konseling pra-nikah, konseling pernikahan, konseling suami istri, konseling keluarga. www.konselingkeluarga.com dab www.konselingpernikahan.com Mengapa sulit memiliki pernikahan yang lancar dan tanpa konflik? Hampir dipastikan pacaran merupakan proses yang menyenangkan. Ketika kita berpacaran maka kedua belah pihak dengan tidak ragu saling menyatakan rasa sayangnya baik dengan verbal, sentuhan, perhatian, pelayanan, doa yang pada umumnya dilakukan dengan tulus bahkan mengebu-ngebu. Saling mengalah, saling memperhatikan, saling melayani, saling mendukung merupakan hal yang tidak berat untuk dilakukan. Bahkan juga saling berkorban, mengalahkan kepentingan diri sendiri, mengutamakan kepentingan dan keinginan kekasih, melayani dan memberi, take and give terjadi dengan nyaman dan menyenangkan.

Ketika masuk dalam pernikahan, hal itu masih terjadi, di awal-awal masa perkawinan. Namun setelah bertahun-tahun, lima tahun, sepuluh tahun bahkan lebih, berapa banyak pasangan yang masih melakukan hal tersebut? Tanpa survey-pun bisa disimpulkan pasti sedikit sekali. Semakin modern hidup kita, semakin sulit menemukan pasangan yang masih menanamkan dan melakukan nilai-nilai dan hal-hal yang tercantum di paragraph pertama diatas.

Yang ada, suami istri saling berselisih, tiada henti-hentinya mengeluhkan danmencerca kelemahan pasangan, hampir tidak pernah memberi support secara positif, melihat segala sesuatu yang dilakukan pasangan secara negatif, apalagi melayani pasangan, mengutamakan kepentingan pasangan hampir menjadi hal yang absurd untuk dilakukan.

Pertanyaannya mengapa bisa terjadi seperti itu? Mengapa segala sesuatu yang diawali dengan baik dan hati berbunga-bunga, setelah diperhadapkan pada kehidupan nyata sehari-hari, hadirnya anak, hadirnya konflik, hadirnya perbedaan pendapat, hilang semua hal-hal baik yang biasa dilakukan saat pacaran dulu. Mengapa sulit menjadi pribadi yang hangat, penuh cinta pada pasangan? Mengapa romantisme menjadi hilang walau keinginan ada, tapi sangat sulit untuk dilakukan?

Pada umumnya pasangan akan berkata, yah itukan waktu pacaran. Beda jika sudah menikah bertahun-tahun. Masalahnya mengapa harus menjadi beda? Beda bukan mejadi lebih baik. Beda 180 derajad menjadi tidak baik. Kedua suami istri hanya menjalankan rutinitas dan fungsi sebagai suami istri, tidak lagi sebagai sepasang kekasih. Bukankah seharusnya semakin lama pasangan menikah, semakin saling mengenal justru harus semakin meningkatkan cinta dan semakin meningkatkan ekpresi cinta yang nyata dalam hidup sehari-hari?

Tentu saja faktor penyebab adalah sangat banyak dan tentu saja bervariasi pada setiap pasangan karena setiap pasangan menempuh “cerita hidup” dan“pergumulan hidup” yang berbeda-beda. Saya hanya akan bahas dari satu sisi yaitu the reveal ofour real and true identity.

Ketika kita baru menikah, maka kedua pasangan masih dalam tahap “euphoria”, memiliki asumsi bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja, bahkan makin baik dari hari ke hari. Namun semakin masuk ke dalam pernikahan, segala kelemahan dan kekurangan yang pada tahap pacaran masih disembunyikan sudah terbuka semua. Perkara “sungkan” sudah hilang. Kedua belah pihak sudah menjadi dirinya sendiri. Dan parahnya, proses ini biasanya diiringi dengan ketidakpedulian. Proses ini biasanya diiringi dengan anggapan, toh kamu sudah menjadi suami/istriku berarti harus bisa menerima semua kelemahanku dengan apa adanya. Sehingga kelemahan tersebut bukan dipacu untuk dihilangkan demi pertumbuhan pribadi diri sendiri, dan pertumbuhan relasi, tapi justru dibiarkan dan disodorkan apa adanya hanya dengan asumsi ketika menikah maka kita “wajib” menerima pasangan kita apa adanya, dengan segala kelemahan kita.

Tentu menikah berarti menerima pasangan kita apa adanya. Namun paradigma ini menjadi kebablasan dan diinterpretasi dalam arti yang salah sehingga menjadi anggapan bahwa segala kelemahan kita adalah “kartu mati” yang mau tidak mau, suka tidak suka, harus diterima oleh pasangan kita.

Apakah benar begitu? Tentu tidak. Semua orang memiliki kelemahan namun semua orang harus mau untuk bertumbuh – berubah menjadi lebih baik dari hari ke hari. Itulah sebabnya di artikel saya sebelumnya, saya ungkapkan tujuan menikah adalah untuk “pertumbuhan” bukan untuk cari bahagia. Jauh lebih mudah cari bahagia diri sendiri adalah dengan tidak menikah. Menikah justru merupakan proses menomorduakan kebahagiaan kita dan menomorsatukan kebahagiaan bersama. Jika menikah adalah dengan tujuan menomorsatukan kebahagiaan pribadi maka salah fatal.

Dengan tujuan hidup kita salah satunya adalah untuk menjadi pribadi yang bertumbuh menjadi lebih baik dari hari ke hari, maka tidak ada alasan untuk meng”kartumati”kan kelemahan kita. Bukan hal yang bijaksana untuk menyodorkan diri kita dengan seabreg kelemahan kita pada pasangan dengan asumsi, anda sudah menjadi suami/istri saya maka harus terima saya dengan segala kelemahan saya. Itu menjadi sesuatu hal yang kekanak-kanakan dan tidak fair sama sekali bagi pasangan kita. Dan juga membuat diri kita semakin tidak berkembang menjadi manusia yang lebih baik dari hari ke hari.

Memasuki pernikahan, justru harus menimbulkan tekad, saya mau mengubah kelemahan saya, sedikit demi sedikit, sehari demi sehari dengan dukungan pengertian dan cinta dari pasangan saya. Tekad harus timbul bahwa perubahan itu adalah demi diri saya sendiri, dan akan berdampak kepada kebahagiaan pasangan saya, demi keharmonisan relasi suami istri dan juga demi menjadi teladan bagi anak-anak kita nantinya.

Ketika pasangan yang masuk ke dalam pernikahan memiliki kedewasaan berpikir dan tekad untuk bertumbuh menjadi lebih baik, baru ada harapan bahwa hari demi hari, pernikahan akan semakin manis, semakin menyenangkan, semakin hangat, semakin terbuka, semakin jujur, semakin kokoh, semakin menjadi teladan bagi anak, semakin menjadi berkat bagi keluarga besar, bagi sesama, bagi bangsa bahkan bagi dunia.

Memasuki pernikahan dengan paradigma bahwa menikah demi diri saya makin bahagia dan pasangan saya harus terima saya apa adanya dengan segala kelebihan dan kelemahan saya tanpa ada niatan untuk mengubah kelemahan saya maka akan membuat pernikahan dari hari ke hari makin penuh konflik, penuh kemarahan satu sama lain, penuh keluhan, penuh ketidakpuasan, dan hari demi hari akan membuat kedua suami istri makin tidak intim, makin jauh satu sama lain, makin saling benci dan tinggal tunggu waktu kapan pernikahan tersebut akan bubar.

So, life is a choice. When you choose your act wisely, you will reap a good fruit. When you choose it wrong, you will reap bitterness.

Salam Sejahtera,

Elly Nagasaputra

Family & Life Counselor

www.konselingkeluarga.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline