Lihat ke Halaman Asli

Gerakan Menabung Pujian

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari nan cerah. Semua tetumbuhan bersemi merekah. Binatang piaraan di belakang rumah tertawa renyah. Seisi alam serasa terbawa gairah. Mereka seakan menghembuskan napas gembira mengiringi pujian seorang manajer tempat saya bekerja. Sore tadi dia berkata, “Anda luar biasa. Hasil kerja Anda sangat memuaskan. Tidak salah saya memilih Anda bekerja di tempat ini. Dedikasi Anda pada perusahaan ini sangat mengagumkan!”

Hmmm…. Pujian itu selalu menyenangkan. Hati terasa terbuai menjulang  tinggi sampai menembus awan. Langkah kaki jadi ringan. Seluruh aliran darah berputar-putar tanpa hambatan. Waaoooowww… beginilah rasanya dipuji. Tak pelak lagi, semua orang kiranya suka mendapat puji. Maka, saya pun jadi mengerti, mengapa banyak orang mengelabui diri, agar dapat dipuji.

Namun, saya sejenak berdiam diri. Nalar menembus nasihat orang bijak, “Hati-hati saat pujian datang, di balik itu ada jurang yang sudah siap menjerumuskan.” Kepala saya yang sudah terlanjur membesar, pelan-pelan mengempis. Saya mencoba mencari-cari sebab-musabab semua itu terjadi. Dari sana, saya menemukan alur sederhana yang berbau rohani seperti berikut ini:

1.SALAH SATU GODAAN TERBESAR: TERKENAL BAIK

Awalnya, manusia tercipta baik adanya. Bahkan, amat baik. Namun, dosa telah melenyapkan martabat manusia yang mulia. Kehilangan ini menyebabkan manusia dililit rindu untuk kembali meraih martabatnya yang hakiki. Parahnya, ruang hati kosong ini kerapkali dipakai oleh setan dengan menawarkan janji ketenaran semu.

Maka, dalam alur keluhuran martabat manusia, keinginan untuk dipuji sebenarnya positif. Menjadi negatif, saat manusia berhenti menikmati pujian sebatas pada diri sendiri. Ia terlalu bangga pada kemampuan diri. Segala puja dan puji justru membuatnya lupa akan yang sejati, yakni: Tuhan sebagai sumber kemuliaan.

2.TEROBSESI PUJIAN: CENDERUNG MUNAFIK

Benar kata bijak, “Pujian selalu mengandung bahaya.” Bahkan, sesuatu yang rohani sekalipun bahaya dari pujian tetap mengancam. Acapkali terjadi, yang rohani justru dapat menjadi pintu masuk bagi terpenuhinya pujian secara gampang. Alasannya, yang rohani selalu menawarkan yang baik. Manusia yang baik akan dipuji dan dihormati.

Tak heran, tak jarang kebaikan dapat dijadikan penutup keburukan. Di dalam gereja manusia begitu khusuk berdoa, tetapi di dalam rumah menjadi setan keluarga. Di tengah masyarakat beramal soleh sampek disorot kamera televisi, tetapi di tempat lain mencuri dan memeras sesama. Manusia senang mendapat tepuk tangan atas kebaikannya, walau itu semua didapat dari mendulang kejahatan.

3.PUJIAN SEJATI: NANTI, BUKAN SAAT INI

Berangkat dari dua titik di atas, rupanya manusia tidak boleh berhenti sekadar bisa berlaku baik. Apabila di dalamnya muncul pujian, bukan berarti berhenti berjuang lantas beristirahat menikmati pujian. Sebaliknya, segala pujian adalah tabungan bagi masa depan, yakni hidup setelah mati. Sekarang dikunci, dan hanya bisa dibuka nanti, bukan saat ini.

Oleh karenanya, barangkali lebih baik apabila energi pujian mesti diubah dengan bekerja lebih baik lagi sekaligus melakukannya dengan rendah hati. Di dalam hati, kiranya pantas didengungkan, “Saya hanyalah seorang pelayan yang melakukan apa yang seharusnya saya lakukan.” Dengan cara itu, kelak manusia akan berjumpa dengan Allah dan menuai segala pujian di mata-Nya.

Salam Menabung Pujian

Sekadar Menasihati Diri Sendiri yang Barusan Dipuji Manajer yang Cantik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline