Lihat ke Halaman Asli

Mengintip Celah di Himpitan Gelap

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari-hari penuh kejutan. Beberapa kawan membawa berita menakjubkan. Karena begitu indahnya, saya dibuat terperangah. Sampai-sampai saya lupa berkata-kata. Mata terbelalak seperti melotot. Bibir ini sedikit bergoyang dan hanya, “Waowww……!!!”

Apa gerangan yang terjadi? Tiga orang kawan akrab dengan 3 (tiga) kisah pribadi yang berbeda sejenak membelokkan kesibukan harian saya. Mereka menelepon secara beriringan hari dengan kalimat pembuka yang sama: “Haloo…. Aku masih hidup, Mas!” Secara ringkas saya membagikan tutur mereka.

(O ) Usianya 29 tahun (kala itu). Wajahnya cantik. Kulitnya bersih. Perangainya sangat periang. Ditambah lagi baik hati. Tak ada yang menduga, di atas semua anugerah keindahan itu ternyata ia mengidap “konsleting” (istilah gampangnya) serabut otak. Ada yang terbakar di bagian itu. Menurut penjelasan dokter yang menangani di Singapura, akibat dari itu ada 3 (tiga) kemungkinan yang bakal terjadi: a). gila, b). ideot, c). mati. Bahkan, prediksi dokter, tidak sampai 3 (tiga) bulan ia akan meninggal.

Informasi yang didapat dari dokter, awalnya memperparah deritanya. Ia tidak siap menanggungnya. Berulang kali ia jatuh koma. Sebagai kawan akrab, saya berdoa agar Tuhan memberikan kebijaksanaan yang paling baik buat dirinya. Dan saya berusaha meyakinkan, bahwa semua prediksi dokter tak selamanya benar. Hidup dan mati itu milik Tuhan. Hanya itu yang bisa saya lakukan, meski hal tersebut tidak gampang diterima bagi yang menanggung derita seperti dia.

Apa yang terjadi? Begitu lewat 3 (tiga) bulan, 1 (satu) tahun, 2 (dua) tahun, dan tempo hari sudah berjalan 9 (sembilan) tahun.  Semua baik-baik saja. Sehat. Kuat. Segar. Di ujung gagang telepon, ia menyapa, “Haloo…. Aku masih hidup, Mas!”

(OO) Badannya tinggi  - kurus. Umur 27 (dua puluh tujuh) tahun (kala itu). Mata minus. Pinter. Dalam kesehariannya, ia tak kan pernah lelah apabila bekerja bagi kepentingan orang lain. Dilihat sekilas, tak ada gejala buruk sedikitpun. Namun, ia berbagi cerita, bahwa ia hanya boleh hidup sampai 33 (tiga puluh tiga) tahun. Isi otaknya yang terkena virus tak akan mampu membuatnya melawati usia itu. Itulah prediksi dokter yang menanganinya.

Menanggapi realita demikian, ia tak mengubah dirinya menjadi murung, sedih, dan berpangku tangan. Sebaliknya, justru situasi seperti ini membuatnya makin bersemangat mengabdikan diri bagi orang lain. Otaknya yang “encer” benar-benar dipakai untuk menolong sesama. Talenta seni kreatifnya makin diberdayakan bersama dengan teman sebayanya. Selalu ada waktu apabila orang lain meminta bantuannya.

Apa yang terjadi? Begitu melintasi umur 33 (tiga puluh tiga) ia masih tampak sehat. Baik. Kuat. Segar. Di seberang sana, ia menyapa lewat telepon dengan berucap, “Haloo…. Aku masih hidup, Mas!”

(OOO) Umurnya 22 (dua puluh dua) tahun (kala itu). Masih membujang. Ganteng. Namun, sehari-hari ia selalu pakai sarung. Hal itu terjadi setelah dia jatuh dari pohon rambutan. Saluran kecil yang menghubungkan ginjal dan kandung kemih putus. Sudah beberapa kali operasi, karena sambungan bekas operasi buntu. Akhirnya, sebagai jalan terakhir ia harus pakai kateter seumur hidup.

Kadang ia bosan memakai kateter melulu. Ia pun berujar, “Masak Mas, orang hidup suruh bawa kateter ke mana-mana! Mana tahan?” Ia acapkali mencabutnya. Ujung-ujungnya, kebosanannya membawa ke meja operasi lagi karena buntu. Ia sempat berputus asa, pakai kateter atau nggak sama saja. Hidupnya takkan lama. Demikianlah informasi yang disadap telinganya. Karena hasil akhir yang sama, ia lantas mencoba mengubah arah. Ia menyemangati diri sendiri dan berjuang agar berguna bagi orang lain. Ia seakan tak memedulikan dirinya yang terbatas, asal orang lain terbantu oleh kemampuannya.

Apa yang terjadi? Sepuluh tahun ia menjalani hidup seperti itu. Tetap bugar. Sehat. Anehnya sudah 2 (dua) tahun  lepas kateter tetapi tidak terjadi apa-apa. Saluran menuju kantong kemih disinyalir lancar-lancar saja. Beberapa waktu lalu, ia pun bergunggam dari kejauhan, “Haloo…. Aku masih hidup, Mas!”

----------------------------------------------

Menyimak kisah tersebut di atas, saya jadi memiliki remah-remah berikut:

(o)          Manusia tahu hidup akan berakhir, tetapi tak pernah tahu kapan itu terjadi. Yang ada hanyalah prediksi yang tak selamanya akurat. Maka, hidup menjadi tepat, apabila diisi dengan semangat, pasrah, dan ikhlas yang dibungkus dalam kebaikan, kasih, dan pelayanan.

(oo)        Kualitas hidup tak pernah bisa diukur dari panjang atau pendeknya umur. Panjang barangkali bisa buruk, pendek barangkali bisa baik, atau sebaliknya. Unsur tengahnya adalah senyampang masih hidup, yang baiklah (positif) yang layak diwujudkan. Sebab di sana acapkali muncul sebuah mukjizat kebaikan tak terduga.

(ooo)      Pengalaman pahit, hitam, dan gelap bisa menimpa siapa saja. Apabila hal itu datang, manusia bisa memilih menolak atau menerimanya. Berani tenang dan memilih untuk menerimanya serta bergulat di dalamnya menjadi modal melewati batas. Apabila telah berada di atasnya, manusia akan tersenyum, lega, dan lupa akan beratnya derita yang pernah dialaminya.

----------------------------------------------

Salam Bukan Basa Basi




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline