Lihat ke Halaman Asli

Bercinta di Malam Jumat

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di hari Kamis malam Jumat yang sepi, saya tergolek oleh rasa rindu pada kekasih yang talah menyita seluruh hati dan segenap pikiran. Dada berdegup lebih kencang dari biasanya. Batok kepala ini terasa nyut-nyutan. Karena dirinya berada di sudut ruang yang berbeda, akhirnya saya pencet HaPe dan mengirim baris puisi ini untuknya:

Wahai... Engkau kekasihku,

Gunung-gunung telah aku jelajahi,

Sepanjang pantai kususuri sampai kembali lagi,

Sedap dan ranumnya bunga-bunga tak kuingini,

Hadangan binatang-binatang buas tak membuatku ngeri,

Hanya satu hendak kudapati,

Satu budi dan hati dengan dirimu.

Tidak biasanya saya sentimentil seperti ini. Tapi tak bisa dipungkiri, rasa rindu ini otentik. Panah asmara yang telah dilesatkan dari busur hatinya menghunjam sedemikian tajam tepat di ulu hati. Kata “cinta” yang pernah dibisikan lembut di lubang telinga serasa tak mau sirna. Jujur, sejak itu saya gelisah untuk segera mendapatkannya. Saya terus mencari peluang dengan melakukan apa saja, agar dapat berjumpa dengannya.

Namun, walaupun telah melakukan pelbagai daya upaya, hati ini belum merasa puas juga. Karena dia belum ada di depan muka secara nyata, saya merasa belum melakukan apa-apa. Terlebih, saya ternganga dan seakan tak percaya ketika balasan darinya berbunyi demikian:

Kalau langkah kakimu ingin ke utara, berjalanlah ke selatan!

Bila hendak melompat kegirangan, tiaraplah dalam penderitaan!

Saat ingin cium dan peluk aku, sembunyikanlah bibir dan tanganmu!

Ketika berhasrat mendapatkanku, janganlah menuruti harapanmu!

Manakala ingin tubuhmu basah, berjemurlah di panas terik matahari!

Aduhhh jawaban seperti ini jelas-jelas tak saya ingini. Sejatinya, ketika puisi saya kirim, di hati ada harapan: dia pasti tersanjung dan kembali memuji saya. Saya bermotif untuk menggetarkan denyut cintanya. Minimal, saya akan mendapat balasan yang sepadan. Ehhh, jangankan kangen, dia malah membuat saya pusing dengan jawaban seperti itu.

Kamis malam Jumat beranjak pekat. Sepi dan makin terasa sepi. Hanya asap tembakau yang berputar-putar memenuhi seluruh ruang kamar. Mendadak saya sedikit emosi, mengapa hal seperti ini terjadi. Secara spontan saya seperti tak sadarkan diri. Ahhh…, kekasihku… kenapa malah menjadi seperti ini? Aku talah lama berjuang merantau di tanah seberang untuk memersiapkan masa depan, tetapi kok semua seperti tak berarti?

Untuk menenangkan diri, saya mencoba untuk melakukan semedi. Lampu kamar segera saya matikan. Pintu rumah terkunci rapat. Hanya aliran udara lewat jendela yang saya biarkan menerpa tubuh. Tapi begitu HaPe hendak saya matikan tiba-tiba ada kiriman satu surat darinya:

Sayangku…, aku ada dan selalu satu denganmu,

Namun, itu semua akan terjadi, ketika semuanya tiada lagi!

Saya sejenak terdiam. Berdiri tak bergerak. Aneh! Tiba-tiba hati terasa panas membara. Gairah meluap tak terkira. Saya seperti tersiram seribu bintang keindahan yang berjatuhan dari langit. Yang pasti, saya malah semakin jatuh cinta padanya. Segera dia saya balas dengan beberapa kalimat:

Demi kamu yang telah menjadi segalanya bagiku,

Aku siap kehilangan segala dan tanpa segala,

Cintaku hanya untukmu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline