Perbincangan tentang rokok, kretek dan tembakau kerap menjadi perdebatan sengit antar dua pihak: pro dan anti rokok. Lingkup perdebatan meliputi isu kesehatan, ekonomi, dan sosial. Hingga dalam perdebatan kebijakan pemerintah yang menyangkut tembakau dan industri pengolahannya terjadi tarik menarik antara dua kutub tersebut. Beragam kebijakan tentang tembakau pun diatur mulai dari kawasan tanpa rokok hingga aturan pengendalian tembakau.
Dari hiruk pikuk isu tentang tembakau, pada tahun ini , sejarawan dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (FIB UGM)menerbitkan sebuah buku bertajuk “Kretek Indonesia dari Nasionalisme hingga Warisan Budaya. Di dalam buku tersebut terhampar data sejarah tentang idustri rokok kretek sejak zaman kolonial. Buku ini merupakan hasil riset kolaboratif yang dilakukan para sejarawan FIB UGM dengan Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo) Kudus.
Menurut sejarawan UGM, Dr. Sri Margana, M.Phil yang juga menjadi penulis buku mengisahkan penulisan buku ini berangkat dari keinginan menambah kajian kretek di Indonesia. Ia menambahkan, tim penulis buku tidak ingin terjebak pada kebijakan kesehatan atau mendukung industri rokok. Mengingat jarang kajian tentang kretek dari sisi historisnya masih jarang.
Penelusuran data-data sejarah dan penelitian di beberapa kota dan industri kretek dilakukan untuk mengungkap fakta bahwa industri kretek punya peran khusus pada zaman Belanda. Penelitian ini mengonfirmasi arsip dan karya dari masa kolonial di Belanda, Koran, statistik, dan observasi partisipatif. “Buku ini merupakan penafsiran atas fakta-fakta sejarah yang terjadi pada industri kretek di Indonesia awal abad ke-20,” ungkap Margana saat peluncuran buku ini.
Pada tahun 1930-an, di Hindia Belanda dihantam depresi ekonomi yang disebut Krisis Malaise. Saat terjadi krisis tersebut, industri kretek menjadi tulang punggung perekonomian Hindia Belanda. “Saat itu semua perusahaan-perusahaan besar milik Hindia Belanda hacur dihantam depresi ekonomi,” paparnya. Margana mengungkapkan, industri kretek yang berbasis di desa dan dalam skala rumahan saat itu justru mengalami perkembagan yang sangat pesat.
Tetapi, krisis tersebut tidak berpengaruh terhadap industri kretek saat itu. Industri kretek yang berbasis di desa dana dalam skala rumahan justru berkembang pesat. Bahkan, satu-satunya industri yang dimiliki pribumi pada masa itu adalah industri kretek. “Saat itu kita tidak akan menemukan orang pribumi menjadi direktur perusahaan-perusahaan besar,” ungkap Margana.
Data sejarah menunjukkan, industri kretek menjadi salah satu sumber ekonomi penduduk pribumi. Hal itu dikarenakan dari hulu ke hilir, seluruh bahan baku pembuatan kretek berasal dari produksi rakyat pribumi. “Jika perusahaan milik Belanda, kita hanya menjadi kuli. Namun, pada industry kretek tidak terjadi demikian,” tandas Margana. Selain dari fakta sejarah tersebut, kretek mempunyai ciri khas pada rasa dan aromanya. Oleh sebab itu, kretek bisa dikategorikan sebagai warisan budaya. “Apalagi ramuan dalam setiap merek diwariskan secara turun-temurun,” pungkasnya.
sumber : http://komunitaskretek.or.id/?p=3116
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H