oleh: Sandy Gunarso, S.Kom., M.IKom., CPS., CMP.
Bahasa terbentuk dari sejumlah kalimat yang saling terikat dalam makna. Rangkaian makna dalam bahasa sengaja dibuat dan dibentuk komunikator untuk menggiring pemikiran komunikan (teman bicara) untuk mengikuti tujuannya.
William A. Haviland dalam bukunya Cultural Anthropology: The Human Challenge, (2017:131), mengatakan bahwa: "Bahasa adalah suatu sistem komunikasi yang menggunakan bunyi, isyarat, atau tanda yang disatukan menurut seperangkat aturan. Melalui bahasa, orang dapat berbagi pengalaman, perhatian, dan keyakinan yang jika digabungkan menurut aturan tertentu menimbulkan arti yang dapat ditangkap oleh semua orang yang berbicara dalam bahasa itu.
Sedangkan, Suaedi dalam bukunya berjudul Pengantar Filsafat Ilmu, (2016:69), mengatakan bahwa: "Tanpa mempunyai kemampuan bahasa, seseorang tidak dapat melakukan kegiatan berpikir secara sistematis dan teratur."
Dari penjelasan William A. Haviland dan Suaedi tampak bahwa seorang Komunikator berusaha memasukkan bunyi, isyarat, atau tanda yang disatukan ide atau gagasannya sendiri pada setiap pembicaraan. Ide sengaja dikemas dengan segala macam cara supaya menarik komunikan. Tanpa disadari, para komunikan secara bersama-sama dengan komunikator mewujudkan ide menjadi kenyataan.
Ide bagus tanpa disertai dengan pesona komunikator seperti masak Sayur Asem tanpa Asemnya. Ide akan terasa hambar alias biasa bagi komunikan karena mereka menganggap komunikator tidak serius saat mengungkapkan ide. Untuk itu, kemampuan menyampaikan ide serta kemampuan mempesona diri harus dimiliki seorang komunikator supaya komunikannya percaya dan mendukung penuh ide-ide tersebut.
Sejumlah cara dapat dilakukan seorang komunikator untuk mengubah diri menjadi semakin mempesona, yaitu:
1. Hindari Menggunakan Dua Lapis Pakaian
Penggunaan dua lapis pakaian hanya dilakukan antara kemeja dengan jas (untuk pria) dan blazer (untuk wanita). Penggunaan kemeja terbuka dan kaos oblong dalam waktu bersamaan mencerminkan seorang komunikator sebagai pribadi labil (tidak dewasa). Keren sih kelihatannya, tetapi bagi teman bicara, mereka akan menganggap isi pembicaraan hanyalah sebagai hiburan semata dan tidak serius.
Pendekatan public dengan busana seperti ini bukanlah dikatakan sebagai pendekatan kepada milenial (anak muda). Sebab, seseorang yang tidak menggunakan busana sesuai dengan usianya sama seperti badut pesta yang hanya melawak dan setiap kalimatnya hanyalah lelucon konyol tanpa berisi pengetahuan untuk diikuti. Untuk itu, sebaiknya seseorang tahu diri saat memilih busana supaya tidak hanya dianggap keren semata, melainkan dihargai dan dihormati.
Seperti Almarhum W.S. Rendra, semasa hidupnya, Sang sastrawan selalu memperhatikan penampilannya -- selain karya-karyanya yang luar biasa, sehingga banyak orang kagum dan menghormatinya. Begitu pula dengan Bapak Proklamator Indonesia, Ir. Soekarno.